HUBUNGAN KRISTEN DAN ISLAM DI NIAS
I.
Pendahuluan
Pulau Nias merupakan salah satu
jalan lintas utama Asia Tenggara yang memiliki sejarah panjang yang
berinteraksi dalam perdagangan dengan budaya lain. Pulau Nias yang terletak di sebelah barat pulau Sumatra lebih
tepatnya terletak kurang lebih 85 mil laut dari Sibolga, daerah Provinsi
Sumatera Utara ini dihuni oleh suku Nias atau mereka menyebut
diri mereka “Ono Niha” yang masih memiliki budaya megalitik. Pulau yang
memiliki penduduk mayoritas Kristen protestan yang telah dimekarkan menjadi empat
kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten
Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Memang dalam hal ini
di pulau Nias terdapat juga beberapa agama lainnya seperti Islam, Buddha,
Hindu, dan lain sebagainya, maka fokus kita saat ini adalah membahas hubungan
agama Kristen dan Islam di Nias.
II. Pembahasan
2.1. Sekilas Tentang Pulau Nias
Nias
adalah daerah kepulauan yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera,
Indonesia, dan secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Sumatera
Utara Kepulauan Nias terdiri dari 132 pulau, memiliki luas daratan kurang lebih
5.625 km2 (7,8 % dari wilayah Sumatra Utara), yang terletak diantara 0ᵒ 12‘ dan
1ᵒ 32‘ garis lintang Utara dan 97ᵒ dan 98ᵒ bujur Timur. Menurut E. Fries yang dikutip Tuhoni Telaumbanua dan
Uwe Hummel, mengatakan bahwa kepulauan Nias berbatasan dengan : [1]
·
Di bagian utara dengan
pulau-pulau banyak Aceh
·
Di bagian selatan
dengan Pulau Mentawai—Sumatra Barat
·
Di Bagian Timur dengan
Tapanuli Tengah—Sumatra Utara.
·
Di bagian Barat dengan
Samudra Hindia
Suku
Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias yang termasuk ke dalam
salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Dalam bahasa aslinya orang Nias
menemakan diri mereka sebagai Ono Niha.
Ono, berarti anak/keturunan, sedangkan Niha
berarti manusia.[2] Dulunya
kepulauan Nias merupakan salah satu kabupaten di propinsi Sumatra Utara, namun
pada tahun 2003 Kepulauan Nias menjadi dua kabupatan yakni kabupaten Nias dan
Nias Selatan (Nias Selatan mencakup pulau-pulaau batu yang diakui sebagai
kabupaten pada 25 Februari 2003 dan diresmikan pada 28 Juli 2003). Pada 29
Oktober 2008 terjadi pemekaran besar-besaran di kabupaten Nias—Nias Induk, Nias
Barat, Nias Utara dan Kota Gunungsitoli.[3]
2.1.1. Konteks Adat Kebudayaan
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam
lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum
disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai
dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya
megalitik yang dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada
batu-batu besar yang masih bisa ditemukan di wilayah pedalaman pulau Nias
sampai sekarang.[4]
2.1.2. Konteks Kependudukan, Keadaan Masyarakat dan Sistem Kemasyarakatan Suku Nias
Jumlah penduduk Kabupaten
Nias pada saat ini kurang lebih
mencapai 442.548 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar 127 jiwa/km² dan 85.361
rumah tangga. Keadaan penduduk menunjukan bahwasanya lebih banyak jumlah
perempuan dari pada laki-laki. Sedangkan
untuk sistem kemasyarakatan suku Nias bisa dikatakan bahwa masyarakat Nias
hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur
segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Untuk keadaan masyarakat Nias pada sekarang ini sudah mengalami cukup
kemajuan baik dari segi pendidikan, tempat tinggal, transportasi maupun
komunikasi. Pendidikan merupakan patokan
utama yang mendukung sumber daya pada masyarakat Nias. Jika dulu kebanyakan
orangtua masih bersifat primitif dengan konsep perempuan sebagai pekerja rumah
dan laki-laki sebagai pengubah kondisi keluarga, namun dengan diberikannya kesempatan untuk
mengecap pendidikan sehingga perubahan dalam dunia pendidikan sudah menjadi
konsumsi sehari-hari bagi orangtua dengan tidak pilih kasih dan mau
menyekolahkan anaknya baik perempuan maupun laki-laki.[5]
2.1.3. Konteks Keagamaan
Sebelum datangnya agama Kristen
Protestan, Katolik, Islam, Hindia, dan Buddha di kepulauan Nias, orang Nias
sebagai salah satu suku yang tergolong tua telah memiliki sistem kepercayaan
tersendiri. Agama suku Nias percaya kepada kuasa-kuasa yang ada di luar dirinya
dan sangat erat hubungannya dengan pandangan Ono Niha terhadap kosmos. Sumber
pemahaman mengenai hal ini adalah mitos-mitos tentang penciptaan yang ada di dalam masyarakat, karena agama
suku Nias tidak memiliki kitab Suci sehingga ajarannya hanya ada dalam bentuk
tradisi lisan saja yang dituturkan dari mulut ke mulut. Agama suku Nias tidak
mengenal adanya satu kekuasaan yang tertinggi sebagai pencipta , dan yang
disembah sebagai Tuhan. Ibadah agama suku Nias hanya merupakan penyembuhan
kepada kuasa roh-roh nenek moyang, dan kuasa-kuasa alam.[6]
Pada
permulaan usaha Pekabaran Injil, para misionaris berusaha mencari nama sesuatu
kekuasaan atau dewa yang tertinggi sebagai pencipta, yang disembah dalam agama
suku Nias untuk menterjemahkan nama Allah menurut pemahaman Kristen ke dalam
bahasa Nias , dan mereka menemukan Lowalangi.[7] Demikianlah
agama yang berakar di pulau Nias adalah agama Kristen. Agama, Penduduk dan Mata
Pencaharian Agama mayoritas di daerah ini adalah Kristen Protestan dimana 90%
penduduknya memeluk agama ini, sedangkan sisanya beragama Katolik, Islam, dan
Budha. Penduduk yang memeluk agama Islam pada umumnya berada di wilayah pesisir
Kepulauan Nias.
2.2. Masuknya Agama Islam
dan Agama Kristen ke Pulau Nias
2.2.1.
Masuknya
Agama Kristen
Keberadaaan Kekristenan di Indonesia tidaklah
terlepas dari kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia yang membawa agama
tersebut. Hal ini diawali dengan kedatangan bangsa Portugis pada abad ke-16
yang membawa agama Katolik. Dalam perkembangannya, datanglah Belanda melalui
VOC yang tidak mengutamakan pekabaran injil yang namun memprotestankan pemeluk
Katolik,[8]
dengan alasan-alasan komersil. Hal ini tidak berarti tidak ada misi yang
dilakukan sebab di daerah-daerah Malaka, Makasar, Padang, Semarang, Surabaya
dan lain-lain telah dibentuk jemaat seiring dengan meluasnya perdagangan dan
kekuasaan VOC di wilayah-wilayah tersebut.[9]
Ketika VOC (Perusahaan India
Timur Belanda) tiba di Indonesia, Pulau Nias dikenal oleh Belanda sebagai
sumber budak diekspor ke Aceh dan Padang. Pada tahun 1669 VOC mulai perdagangan
dengan Pulau Nias. Awalnya mereka diperdagangkan hanya dalam memproduksi, tapi
karena ini tidak cukup menguntungkan mereka segera melakukan bisnis dalam
perdagangan budak. Budak dari Nias dibeli oleh Belanda untuk digunakan pada
peternakan yang dimiliki oleh VOC di Sumatera. Pada 1693 VOC mendirikan basis
pertamanya di Nias yakni di Gunung Sitoli. Di mana mereka membangun sebuah
pelabuhan, rumah dan toko. Pada 1740 VOC meninggalkan Nias untuk baik sebagai
urat perusahaan berpengaruh di Asia Tenggara. 1776 Inggris tiba dan mengambil
alih pos perdagangan di Gunung Sitoli tetapi segera ditinggalkan, karena tidak
cukup menguntungkan. Akhirnya Belanda memegang kendali pulau lagi pada tahun
1825. Kendali mereka hanya mencapai daerah sekitar Gunung Sitoli karena banyak
pemberontakan pemberontakan melawan Belanda, khususnya di selatan.[10]
Pembubaran VOC pada tanggal 31 Desember 1799 karena
hutang mengalihkan kekuasaan atas Nusantara ke tangan pemerintahan Belanda
secara langsung. Pemerintah Belanda (Hindia-Belanda), berbeda dari VOC. Tidak
lagi mengemban amanat yang dirumuskan gereja reformasi Belanda dalam pengakuan
iman nya sehingga menjadi netral di bidang keagamaan yang didukung juga dengan
kekuasaan Inggris sejak 18 September 1811 sampai tahun 1816. Setelah itu
kekuasaan kembali diserahkan kepada pemerintah Belanda. Seiring dengannya, lembaga-lembaga
misi, mulai berkembang di Eropa dan mengirim para pekabar
Injil termasuk ke Indonesia. Lembaga inilah yang datang dan membangun
kekristenan di Nias.[11]
2.2.2.
Masuknya
Agama Islam di Nias[12]
Dimulai dari konflik
sebuah kerajaan Islam di Preumbeue Meulaboh dengan kepala pemerintahannya Teuku
Chik dari Meuraza Kutacane (Banda Aceh). Teuku Chik mempunyai 2 orang putra dan
1 orang putrid yaitu
1.
Teuku Polem
2.
Teuku Imam Bale
3.
Siti Zalikha
Teuku Polem sebagai anak tertua bertugas
membantu ayahnya dalam bidang keagamaan dan pemerintahan dan Tengku Imam Bale
bertugas dalam bidang keagamaan. Pada masa pemerintahan Teuku Chik ini, pantai
pesisir barat kerajaan Aceh sering diganggu oleh perampok oleh bajak laut. Oleh
sebab itu Teuku Polem sering langsung memimpin operasi pengamanan sepanjang
pantai barat hingga Natal. Sewaktu Teuku Polem berada di Tapak Tuan, ayahnya
Teuku Chik meninggal dunia, sehingga untuk sementara kekuasaan diserahkan
kepada adiknya Teuku Imam Bale. Karena kesedihannya, dengan berjiwa besar Teuku
Polem menyerahkan tugas itu kepada adiknya, akan tetapi ia bertekad untuk tidak
kembali ke Aceh tetapi beliau berlayar sampai menemukan daerah baru dan
dijadikan tempat tinggal anak dan cucunya kelak. Denga menggunakan 5 buah
pencalang (perahu besar), Teuku Polem beserat rombongan meninggalkan Meulaboh
dan berlayar ke arah Selatan Pulau Sumatra, setelah beberapa lama berlayar,
pada tahun 1642 itu juga, Teuku Polem beserta rombongan tibalah di suatu pulau
yaitu Pulau Nias, tepatnya di Luaha Laraga Idanoi. Sesampainya di sana mereka
disambut baik, karena kedatangan mereka tidak menandakan musuh, apalagi orang
Aceh ini kebiasaanya makan sirih dan begitu pula orang Nias, sehingga melihat
rombongn ada yang makan sirih menjadikan pimpinan masyarakat Nias yang berada
di Luaha Laraga Idanoi yang disebut dengan Balugu menyambut kedatangan
rombongan dari Aceh ini, dan tinggal di sana selama 2 tahun yaitu tahun
1642-1644. balugu Harimao mempunyai 3 orang putra dan 1 orang putri yaitu:
1.
Balugu Mangaraja Fagoto Harefa
2.
Balugu kaoma Kahemanu Harefa
3.
Kehomo Harefa
4.
Bowo’ana’a Harefa
Pada tahun 1643 yaitu 1 tahun setelah tiba di
Luaha Laraga Idanoi, Teuku Polem kawin dengan putri Balugu Harimao yang bernama
Bowoana’a Haref, maka beliau inilah yang diketahui pertama kali memeluk agama
Islam di Pulau Nias. Setelah Bowoana’a masuk Islam, anak saudaranya Fagowa
Harefa yang bernama si Acah Harefa masuk Islam, keturunannya sekarang adalah
penduduk kampong Miga Ori Tabaloho Dahana kecamatan Gunungsitoli, menyusul
Kehomo Harefa dan keturunannya sekarang sebagian tinggal di Desa Mudik dan
sebagian di Sifahandro kecamatan Tuhemberua. Dari keluarga Bowoana’a, Balugu
Kaoma Kahemanu Harefa saja yang tidak masuk Islamtetapi keturunannya beberapa
abad kemudian memeluk agaman Kristen Protestan, namun keturunannya yang memeluk
agama Islam berdomisili di Desa Mudik dan Sifahandro dan yang beragama Kristen
Protestan berdomisili di Lasara Hili Ori Tabaloho Dahana. Pada tahun 1644, Balugu Harimao
Harefa atau keluarga Teuku Polem dan rombongan yang datang dari Aceh pindah
dari Ono Sitoli Laraga ke arah lembah sungai yang disebut Kali Nou dan
mengambil tempat di Siwulu atau Giri’I (atua ai lo niha), yang sekarang masuk
wilayah Desa Mudik. Selama Teuku Polem berada di Siwulu atau Giri’i.
2.3. Permulaan Misi di Nias
Pekabaran Injil di Nias sebenarnya
telah dimulai oleh 2 orang pastor Roma Katolik dari Mission Etrangerss de Paris
pada tahun 1822/1823 yaitu Pere Wallon dan Pere Barart yang awalnya bekerja di
Penang dan kemudian ke Padang. Dengan ditemani sepasang suami istri Nias
(Fransisco dan Sophie), mereka berangkat ke Nias dan tinggal di Lasara, dekat
Gunungsitoli. Tiga hari kemudian seorang dari mereka meninggal dunia dan
menyusul yang lainnya tiga bulan kemudian.[13]
Pada tahun 1834 misi Protestan dari The Congregationalist Mission Society
Boston Amerika Serikat (ABCFM) masuk melalui 2 orang missionarisnya yaitu
Samuel Munson dan Henry Lyman. Tapi mereka tidak diberi izin oleh Belanda
sehingga mereka pergi ke tanah Batak.[14]
Pada tahun 1835 pemerintah Hindia Belanda melarang tenaga misi asing untuk
bekerja sehingga misi di Nias sementara waktu terhalang.[15]
Kemudian
Pulau Nias mendapat perhatian dari pihak pekabar Injil kira-kira pada
waktu yang sama dengan daerah Batak. Juga pada waktu itu, pemerintah Belanda
berusaha untuk menetapakan pemerintahannya di kepulauan sebelah Barat Sumatera.
Bahkan pemerintahlah yang meminta para pekabar Injil untuk mengerjakan pulau
itu. Tetapi permintaan itu bukan berarti, bahwa pemerintah bersedia untuk
menyokong pengkristenan pulau-pulau itu, melainkan hanya membuka kesempatan
bagi pekabar Injil untuk bekerja disitu. Inisiatif untuk mengerjakan pulau Nias
datang dari seorang pekabar Injil yaitu Denninger tepat pada tahun 1865. Ia
dipindahkan oleh RMG[16]
dari Kalimantan Selatan Ke Sumatera beserta dengan pekabar Injil lainnya, yang
tidak diijinkan untuk bekerja di Kalimantan oleh karena pemberontakan yang
berkobar di situ. Akan tetapi Denninger tidak dapat ikut masuk ke daerah Batak
Selatan, oleh karena isterinya menderita penyakait yang parah. Ia tinggal di
Padang serta mencari jalan guna menyebarkan Injil di kota itu. Disitu ia
menjumpai orang-orang suku Nias, yang sebagian besar bekerja sebagai buruh.
Denninger mempelajari bahasa mereka sedapat-dapatnya supaya ia sanggup mengajar
mereka serta mendirikan sebuah jemaat Nias di Padang.[17]
Beberapa tahun
kemudian datanglah beberapa pekabar Injil lagi dari Jerman, yang menetap di
daerah-daerah sekitar Gunung Sitoli. Suatu tempat yang memainkan peranan
penting di dalam sejarah Gereja Nias, Ombolata,
yang menjadi tempat pendidikan Gereja itu dikemudian hari. Pembabtisan yang
pertama dilakukan pada tahun 1874, Sembilan tahun sesudah permulaan pekerjaan
mereka di kampong Hilinaa, tempat di
mana 9 orang Kristen Nias yang pertama dibabtiskan. Hari Paskah 1874 merupakan
hari kelahiran Gereja Nias. Berakarnya gereja Kristen di pulau Nias memakan
waktu yang cukup lama. Pada Tahun 1915-1930 di
antara tahun itulah penyebaran agama kristen benar-benar menancapkan
pengaruhnya di pulau nias. Dia antara tahun itu juga di sebut sebagai masa
pertobatan massal atau fangesadödö sebua. Selanjutnya
didirikanlah BNKP (Banua Niha Keriso Protestan) pada tahun 1936
dan ONKP (Orahua Niha Keriso Protestan) berdiri pada tanggal 16 April 1952.[18]
2.4. Tokoh Kristen
1. Ludwig Ernest Deningger
Ia masuk ke Nias tanggal 27 September 1865 sehingga
diperingati sebagai hari peringatan masuknya Injil di Nias. Tahun-tahun
pertamanya, ia mengumpulkan beberapa pemuda dan mengajar mereka membaca dan
menulis. Merekalah yang menjadi pembantu-pembantunya untuk mengajar anak-anak
di sekitar Gunungsitoli tahun 1866 sebagai permulaan sekolah di Nias. Ia
menterjemahkan Injil Yohanes ke dalam bahasa Nias dan kemudian Injil Lukas.
Tahun 1875 ia meninggalkan Nias menuju Batavia karena sakit. Di sana ia
meninggal satu tahun kemudian.
2. J. W. Thomas
Dia datang ke Nias tahun 1872. Setelah ia mempelajari
bahasa Nias dari Denninger, Ia ditempatkan di Ombölata, suatu pos PI yang baru
dibuka terletak 9 km di sebelah selatan Gunungsitoli. Di sini sejak kedatangannya
dibaptislah 6 orang penduduk tahun 1875 dan 32 orang di Frenchu (2 km dari
Ombölata) tahun 1876. tahun 1876 berdiri pula gedung gereja di Ombölata. Ia
kemudian pergi mengusahakan PI di Sa’va Nias Selatan tahun 1885, namun usaha
itu gagal.[19] Kegagalan
itu karena perang saudara sehingga ia dipanggil ke Gunungsitoli (1886). Setelah
cuti 3 tahun ia kembali (1889). Tahun 1891 ia membuka pos PI di desa Humene
dekat pantai, 11 km sebelah selatan Gunungsitoli. Tanggal 17 Juli 1893 terjadi
pembaptisan massal untuk 115 orang. Anak-anak diajari membaca, menulis dan
menyanyi. Tahun 1894 dibangun gedung Gereja yang ada ruang belajarnya. Tahun
1985 ia membuka sekolah guru seminari di Humene. Tahun 1900 ia meninggal karena
sakit dan dikebumikan di Humene. Sebelumnya ia berhasil membuat kamus “wordenboek”
Nias Melayu-Belanda”, buku “Bibelkunde Thomas” dan buku nyanyian
gereja. Saat ia meninggal telah ada 1.385 orang yang dibaptis di Humene dan
sekitarnya, termasuk 3 cabang di kampung Fadoro, Siwalubana dan Tetehosi-Foa.[20]
3. Kreamer
Ia tiba Gunungsitoli tahun 1873, ia berhubungan baik
dengan penduduk setempat. Hampir setiap sore istrinya mengunjungi
keluarga-keluarga pribumi di kampung Hiliona, 2 km di luar Gunungsitoli.
Akhirnya Salawa Hilinoa’a bernama Yawaduha dan beberapa orang kampung tersebut
(semua ada 25 orang) minta dibaptis pada hari paskah 1874. Inilah
pembaptisan pertama di penduduk Nias.
4. Dr.
W. H. Sunderman
Ia tiba di Nias
tahun 1876 selama 2 tahun ia bersama-sama dengan Kreamer di Gunungsitoli sambil
mempelajari Bahasa Nias melalui pergaulan langsung dengan penduduk setempat dan
buku-buku berbahasa Nias. Tahun 1878 ia membuka pos PI di Dahana, ± 4 km
sebelah barat Gunungsitoli. Tetapi kepercayaan lama sangat kuat sehingga Injil
tidak menarik bagi mereka. Karena itu ia mengalihkan perhatiannya pada lapangan
pendidikan. Ia mengumpulkan pemuda setempat dan mengajar mereka membaca dan
menulis. Inilah permulaan sekolah guru di Nias 1875/1876. Tahun 1880 ia cuti ke
Jerman selama 2 tahun dan pekerjaan di Dahana terlantar. Setelah cuti ia
kembali Dahana (1892) karena kurang berhasil ia pindah ke Loluwua, 18 km
sebelah barat Gunungsitoli dan membuka pos PI disana. Ia menterjemahkan Alkitab
ke dalam bahasa Nias yang masih dipakai sampai sekarang. Ia juga menyusun
katekhismus Luther dalam bahasa Nias dengan judul “Lala Wangorifi”.[21]
5. Pdt. Otto Rudersdorf
Otto Rudersdof menimbulkan penyesalan terhadap anggota
jemaat tentang kurangnya kesadaran akan dosanya khususnya dalam persiapan untuk
perjamuan kudus. Dia mengadakan pelayanan khusus selama 7 minggu sebelum Natal
1951, di gereja hari minggu sore, juga di jemaat-jemaat setiap hari kerja.
Pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah besar orang Kristen Nias. Dalam hal ini
seorang asisten guru bernama Filemon mengalami sebuah kesadaran akan dosa yang
tidak biasa dan pertobatan yang kuat bahwa dosa-dosa nya diampuni oleh Kristus
yang disalibkan. Perubahan ini mempengaruhi yang lain.[22]
Di jaman orde baru kepemimpinan di Nias
sangat menyakitkan dan membawa luka serta pertentangan sesama saudara di Nias
oleh alasan agama. Bagaimana tidak menyakitkan Kabupaten Nias (dulu hanya satu
kabupaten) yang lebih 90 % penduduknya penganut agama kristiani (protestan dan
katolik) pernah dua orang bupatinya yang beragama Islam (M.Sani Zega
ada 2 periode dan Lafau 1 periode) demikian juga kepala departemen
agama ditaroh yang beragama islam sepanjang jaman orde baru. Sangat tidak
masuk akal dan penuh nuansa politis namun masyarakat Nias tidak mau protes
karena rezim orde baru dengan Partai GOLKARnya sangat kuat. Namun dampaknya
seperti tulisan dibawah ini, tetapi sejak jaman reformasi secara perlahan-lahan
keadaan mulai enak dan boleh dikatakan sekarang kerukunan umat beragama di Nias
sangat harmonis.
Ada dua alasan utama keadaan harmonis
sekarang yaitu :
1.
Umat kristiani sudah tidak dizolimi oleh politisasi
rezim dan partai Golkar.
2.
Umat islam sudah menyadari posisinya dan tidak ada yang
mau “besar kepala” seperti pada jaman orde baru.
Mohon diberikan ulasan dan tanggapan agar
apa yang terjadi dulu di Nias seperti cerita dibawah ini tidak terulangi lagi.
Saohagolo di Situbondo: Muslim menganiaya Nasrani, di TimTim: Katolik
menganiaya Kristen dan Muslim, di Kupang: Nasrani Menganiaya Muslim, di
NIAS:Kristen menganiaya Muslim, di Ambon : Mereka saling bertikai. Tapi sebenarnya,
Kekerasan penganut suatu agama terhadap penganut agama yang lain bukan monopoli
penganut agama tertantu dan juga tidak berdasarkan ajaran agama yang mereka
anut. Umat Islam di Pulau Nias mengalami
diskriminasi berat. Koresponden UMMAT Abdul Sattar AZ menyusuri pulau kecil di
barat Sumatera Utara itu, dan menurunkan tiga tulisan.
Merana. Itulah kata yang tepat untuk
melukiskan kondisi umat Islam di Pulau Nias. Pulau seluas sekitar 5.600 km2 itu
berpenduduk 700 ribu jiwa, sekitar 38 ribu di antaranya beragama Islam (5,75%).
Perbandingan jumlah rumah ibadah tampak proporsional, yaitu 128 mushala dan
2.252 gereja. Tapi, setiap ada mushala, maka berdiri pula gereja besar di
samping mushala yang tak pernah mendapat bantuan pemerintah. Menjelang
pelaksanaan MTQ di Teluk Dalam, 124 km dari Gunung Sitoli, 4
Januari 1997 lalu, 180 KK umat Islam di sana harus mengurut dada. Pada
saat persiapan muncul ancaman dan selentingan bahwa pelaksanaan musabaqah itu akan diporakporandakan. Depag dan pemuda setempat terpaksa menerjunkan petugas keamanan rahasia. “Memang, kehidupan umat Islam di sini menyedihkan,” kata H. Nukman Nasution, Kakandepag Nias kepada umat. Sehari menjelang Natal lalu, umat Islam di Labuhan Angin, Desa Lurah Saombo, Gunung Sitoli, juga harus menarik napas panjang. Waktu itu, umat Kristen sedang latihan koor memakai kibor di gereja yang berhadapan dengan mesjid. Saat shalat Isya tiba, azan mengumandang. Tiba-tiba seorang peserta latihan memaksa agar mikrofon dimatikan. Mereka tak mau mendengar azan saat latihan. Bahkan beberapa tahun silam, seorang dai, Munir El- Asyari (38), yang ingin berdakwah di daerah terpencil, raib setelah beberapa hari melakukan tugasnya.
Januari 1997 lalu, 180 KK umat Islam di sana harus mengurut dada. Pada
saat persiapan muncul ancaman dan selentingan bahwa pelaksanaan musabaqah itu akan diporakporandakan. Depag dan pemuda setempat terpaksa menerjunkan petugas keamanan rahasia. “Memang, kehidupan umat Islam di sini menyedihkan,” kata H. Nukman Nasution, Kakandepag Nias kepada umat. Sehari menjelang Natal lalu, umat Islam di Labuhan Angin, Desa Lurah Saombo, Gunung Sitoli, juga harus menarik napas panjang. Waktu itu, umat Kristen sedang latihan koor memakai kibor di gereja yang berhadapan dengan mesjid. Saat shalat Isya tiba, azan mengumandang. Tiba-tiba seorang peserta latihan memaksa agar mikrofon dimatikan. Mereka tak mau mendengar azan saat latihan. Bahkan beberapa tahun silam, seorang dai, Munir El- Asyari (38), yang ingin berdakwah di daerah terpencil, raib setelah beberapa hari melakukan tugasnya.
Mualaf. Pil pahit juga harus ditelan
minoritas Islam di Kecamatan Lolovitumoi, 36 km dari Gunung Sitoli, dua bulan
lalu. Mesjid swadaya masyarakat di sana nyaris tak berfungsi, karena
tokoh-tokoh non-Islam keberatan dengan mesjid yang didirikan tanpa izin mereka
itu. Lalu, seorang tokoh Kristen pun memotong pohon pisang persis di depan
mesjid, sebagai isyarat protes. Lain pula cerita para mualaf di Amarosa, Kecamatan
Lolomatua, 62 km dari Gunung Sitoli. Sebanyak 165 KK yang baru mengikrarkan
syahadat secara masal dua bulan lalu, harus gemetar menghadapi gertakan seorang
pastor dan ancaman pembunuhan. Madrasah dan mushala pun dilarang berdiri di
desa
ini. “Kesedihan dan penderitaan kami tak bisa diungkap dengan kata-kata,”
ujar Abdullah (27), salah seorang mualaf. Dalam kondisi itulah muncul selebaran yang dikirim ke semua instansi dan tokoh agama. Isinya: Bupati H Zakaria Y. Lafau melakukan Islamisasi. Dia memang bupati pertama yang beragama Islam. “Selebaran itu dibuat orang yang tak bertanggung jawab,” tegas Lafau. Sebelum dia jadi bupati, umat Islam Nias –terutama di daerah terpencil– tak pernah bisa menyelenggarakan shalat berjamaah, pengajian, serta kegiatan ke-Islaman lainnya.
ini. “Kesedihan dan penderitaan kami tak bisa diungkap dengan kata-kata,”
ujar Abdullah (27), salah seorang mualaf. Dalam kondisi itulah muncul selebaran yang dikirim ke semua instansi dan tokoh agama. Isinya: Bupati H Zakaria Y. Lafau melakukan Islamisasi. Dia memang bupati pertama yang beragama Islam. “Selebaran itu dibuat orang yang tak bertanggung jawab,” tegas Lafau. Sebelum dia jadi bupati, umat Islam Nias –terutama di daerah terpencil– tak pernah bisa menyelenggarakan shalat berjamaah, pengajian, serta kegiatan ke-Islaman lainnya.
Mushala pun sering mendapat “hadiah”
kotoran manusia yang tak jelas asalnya. Dari mana selebaran itu? Tokoh
Protestan, Setieli Hulu BA, menegaskan, belum tentu selebaran yang mengadu domba
bupati dan Kakandepag itu ulah
umat Kristen. Kabimas Kristen Protestan Depag ini menyatakan, kerukunan umat beragama di wilayah kerjanya cukup mantap. Dia menambahkan Nias
adalah milik Protestan dan Katolik yang masuk pada tahun 1865, dibawa oleh pendeta Jerman, Denninger. Baru tahun 1926 berdiri organisasi gereja
yang sampai hari ini berjumlah 23 buah. Penganut Protestan dan Katolik di
Nias, kata Satieli, kini sekitar 634 ribu jiwa (93%). Tapi, Masri Aswar Waruhu membantah pernyataan Setieli. Menurut Ketua Badan Pembina Muallaf Daerah (BPMD) Nias ini, Islam-lah yang mula-mula masuk. Dia menunjuk salah satu tulisan Almarhum Hamka bahwa Islam sudah masuk ke Nias 350 tahun sebelum Kristen. Buktinya, di daerah tertua di Nias, Pulau Hinako (Kecamatan Sirombu), 90 km dari Gunung Sitoli, penduduknya sampai hari ini masih menjalankan syariat Islam tentang hukum warisan. “Kristen masuk ke Nias pada tahun 1930. Saya bertanggung jawab mengatakan ini,” ujar Waruwu.
umat Kristen. Kabimas Kristen Protestan Depag ini menyatakan, kerukunan umat beragama di wilayah kerjanya cukup mantap. Dia menambahkan Nias
adalah milik Protestan dan Katolik yang masuk pada tahun 1865, dibawa oleh pendeta Jerman, Denninger. Baru tahun 1926 berdiri organisasi gereja
yang sampai hari ini berjumlah 23 buah. Penganut Protestan dan Katolik di
Nias, kata Satieli, kini sekitar 634 ribu jiwa (93%). Tapi, Masri Aswar Waruhu membantah pernyataan Setieli. Menurut Ketua Badan Pembina Muallaf Daerah (BPMD) Nias ini, Islam-lah yang mula-mula masuk. Dia menunjuk salah satu tulisan Almarhum Hamka bahwa Islam sudah masuk ke Nias 350 tahun sebelum Kristen. Buktinya, di daerah tertua di Nias, Pulau Hinako (Kecamatan Sirombu), 90 km dari Gunung Sitoli, penduduknya sampai hari ini masih menjalankan syariat Islam tentang hukum warisan. “Kristen masuk ke Nias pada tahun 1930. Saya bertanggung jawab mengatakan ini,” ujar Waruwu.
Pengalaman buruk itu tentu tak dialami
umat beragama lain yang mayoritas. Pastor Walfried Albers asal Jerman,
misalnya, bebas menyiarkan agamanya. Pastor yang tinggal di Kecamatan
Lolomatua, 65 km dari Gunung Sitoli, ini bahkan mendapat dukungan dalam
menggertak umat Islam. Padahal, kedatangannya ke daerah ini tanpa dokumen yang
jelas. “Kami tak pernah diberitahu soal kedatangan Pastor Albers,” ungkap Abdul
Gani Zebua, Humas Depag Nias. “Kami sudah melaporkan masalah ini ke pusat.” Lewat
Perkawinan. Ada pula indikasi bahwa lembaga perkawinan dimanfatkan untuk
keperluan Kristenisasi. Caranya dengan mengawini wanita-wanita Islam di luar
daerah. Untuk kepentingan perkawinan, para pemuda Nias masuk Islam. Setelah
sang istri dibawa ke Nias, ia dibaptis dan dipaksa makan daging babi. Mereka
biasanya tak bisa lagi ke luar Nias. Kasus serupa, misalnya, terjadi pada
Saidah (15), pelajar SMP asal Aceh. Suatu hari ia berkenalan dengan pemuda
Nias. Enam bulan lalu, ia dibawa ke Kecamatan Alasa, Nias, dipaksa kawin dan
dibaptis. Untunglah, setelah beberapa bulan ia berhasil dibawa keluar Nias oleh
seorang tentara.
Rosmila (18), gadis ayu asal Medan, pun
dipaksa kawin dan makan babi di Kecamatan Idanegaro. Saat di Medan,
perkawinannya dengan pemuda Nias itu berlangsung secara Islam. Setelah memiliki
seorang anak, Rosmila tak
tahan. Syukurlah, seseorang berbaik hati dan melarikannya keluar Nias. “Memang banyak sekali kejadian seperti itu. Kami masih menyelidiki, apakah ini misi atau ada faktor lain,” ujar Nukman. Informasi semacam ini memang jarang terdengar. Maklum, transportasi di daerah ini sangat sulit dan jarak antardesa sangat jauh. Depag pun tak memiliki kendaraan roda empat untuk menunjang kelancaran tugas.
tahan. Syukurlah, seseorang berbaik hati dan melarikannya keluar Nias. “Memang banyak sekali kejadian seperti itu. Kami masih menyelidiki, apakah ini misi atau ada faktor lain,” ujar Nukman. Informasi semacam ini memang jarang terdengar. Maklum, transportasi di daerah ini sangat sulit dan jarak antardesa sangat jauh. Depag pun tak memiliki kendaraan roda empat untuk menunjang kelancaran tugas.
2.6. Hubungan Agama Kristen
dan Islam di Nias
Dalam memahami hubungan Kristen dan
Islam di Nias, perlu kita ketahui bahwa kondisi berbeda ditemukan di pulau
Nias, daerah yang juga merupakan konsentrasi Kristiani. Dari dahulu sampai
sekarang hubungan Kristen dan Islam di sana sangat terjalin dengan baik
walaupun mayoritas agama Kristiani. Walaupun pernah terjadi masalah pada zaman
Orde Baru bahwa Orde Baru meracuni persudaraan agama di Nias. Tapi itu hanya
sebentar saja, jika dilihat kembalai ke hubungannya yang sekarang bahwa tidak
ada permasalahan yang terjadi di Nias antar agama. Dapat kita ketahui bahwa pada
daerah Nias ini juga, ada ditemukan satu kawasan di mana Muslim merupakan
sebaran populasi yang paling dominan dan hidup mengelompok, meskipun persentase
Muslim sangatlah kecil jika dihitung dari seluruh populasi yang ada di pulau
Nias. Berdasarkan data statistik tahun 2010, jumlah penduduk kepulauan Nias
diperkirakan sebesar 756.338 jiwa. Penganut Muslim hanya memiliki sebaran
sebesar 5 persen atau 34.596 jiwa, sementara Kristiani mencapai 95 persen atau
sebesar 720.726 jiwa. Akan tetapi, seperti telah disebutkan di atas, pada
daerah ini ditemukan adanya dominasi Muslim di sebuah kecamatan yang disebut
Pulau Batu Timur, merupakan daerah yang masuk dalam teritorial kabupaten Nias
Selatan. Di kecamatan ini, sebaran Muslim mencapai 76 persen atau 1.897 jiwa dari
total penduduk sebesar 2.483 jiwa. Kristiani hanya memiliki sebaran 24 persen
atau dengan jumlah penduduk kurang dari 600 jiwa. Tentang Kristiani yang
mendominasi kepulauan Nias tentunya tidak terlalu sulit dedeskripsikan, ada
banyak sejarah yang mencatat bahwa kawasan ini merupakan salah satu dari misi
Pekabaran Injil yang dikonsentrasikan oleh pemerintah kolonial.[24]
Masyarakat Nias adalah masyarakat
yang pluralis, yang tidak hanya terdiri dari suku Nias saja, tetapi juga
terdiri dari suku-suku bangsa lainnya seperti Tionghoa, Padang, Batak, dan
Jawa. Hal ini terjadi karena datangnya orang-orang luar ke pulau Nias dengan
berbagai kepentingan seperti perniagaan.[25] Dari
segi keagamaan, masyarakat Nias juga masyarakat yang agamanya pluralistik, ada
Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, dan Buddha. Dari hasil kuantitas,
masyarakat Nias mayoritas Kristen Protestan. Pada kenyataannya dalam waktu
jangka panjang masyarakat Nias yang agama pluralis, telah hidup berdampingan,
damai, toleran, dan rukun. Secara sosiologi, masyarakat yang ada di Nias juga
saling menerima, menghargai, berbaur satu sama lain, dan saling berdampingan
satu sama lain dalam komunitas sosial dan kegiatan-kegiatan keagamaan. Seperti
dalam perayaan keagamaan, mereka saling menghadiri. Seperti orang Kristen
melakukan perayaan-perayaan keagamaan seperti Natal, Paskah yang
diselenggarakan di Gereja, orang Islam datang menghadiri perayaan tersebut.
Demikian juga orang islam melakukan perayaan keagamaan yang diselenggarakan di
Masjid seperti hari Raya, orang Kristen datang menghadiri. Demikianlah terjadi
kerukunan, saling menghargai, menerima satu sama lain. Bahkan sampai sekarang
pun masih tetap ada kebiasaan berkunjung ke rumah antar pemeluk agama sebagai
pengikat silaturahmi dalam perayaan-perayaan besar keagamaan seperi Hari Natal,
Paskah, Hari Raya Idul Fitri. Juga dalam upacara-upacara adat, seperti
pernikahan, penguburan orang mati, mereka saling menghadiri dan memberikan rasa
kepedulian baik dalam suka maupun duka, sehingga tetap terjalin hubungan yang
baik di antara mereka. Demikian juga masyarakat agama Kristen dan Islam di Nias
sangat terjalin hubungan yang baik. Harmoni social yang tetap tercipta di
masyarakat Nias membuatnya sangat berbeda dengan beberapa masyarakat di
daerah-daerah lain di Indonesia yang agamis-pluralistik, namun kenyataannya sering terjadi medan
kekerasan dan ajang konflik social. Di masyarakat Nias hampir tidak pernah
terjadi konflik horijontal yang bersifat destruktif. Tidak pernah terjadi
kekerasan atas nama agama dan atas nama suku seperti yang terjadi di Indonesia.[26]
2.7. Hubungan Agama Kristen dan Islam di Nias dari Hasil
Wawancara
Menurut
Pdt. Siti Suarni Gee, Hubungan
Kristen dan Islam di Nias memiliki hubungan yang sangat baik, tidak terlihat
sikap fanatisme antara agama Kristen dan Islam. Meskipun agama mayoritas di
sana adalah agama Kristen Protestan. Bahkan ketika orang Kristen mengadakan
kegiatan-kegiatan Gerejawi dan mengundang agama Islam, mereka datang menghadiri
kegiatan (misalnya, Pesta Pembangunan, Hari Natal, Paskah, dan lain sebagainya)
tersebut untuk duduk dan makan bersama, begitu pula sebaliknya, ketika agama
Islam mengadakan perayaan besar keagamaan, orang Kristen pun hadir dan duduk
makan bersama. Dalam hubungan Kristen
dan Islam di Nias juga, sikap agama Kristen sangat toleran terhadap agama
Islam, bahkan hubungan pernikahan pun sering terjalin antar mereka, artinya
bahwa ketika orang Kristen ingin menikah dengan agama Islam dan sebaliknya,
tidak dipermasalahkan mengenai agama karena mereka meyakini bahwa setiap agama
adalah sama yaitu tetap menyembah Tuhan. Dan dalam hubungan pernikahan pun yang
lebih dilihat adalah kepribadian, sikap, dan pekerjaannya. Namun karena sikap
orang Kristen yang terlalu toleran, semakin lama pemeluk agama Kristen semakin
merosot karena terjadinya eksodus (keluar) untuk merantau dan juga menikah
dengan agama lain sehingga meninggalkan Nias.[27]
Menurut
Bapak Iwan Laksaro Nduru, Mengenai
hubungan agama Kristen dan agama Islam di Nias, selama hidupnya sampai sekarang
belum pernah ada terjadi permasalahan mengenai antar agama. Mengenai bidang
politik di Nias baik antara agama Kristen dan Islam pun merata dan normal. Tapi kalau di bagian pedalaman atau
desa perkampungan belum merata karena pendidikannya masih kurang. Di Nias agama yang mayoritas adalah
agama Kristen yaitu diperkirakan 95% dan 5%. Hubungannya sangat baik walaupun
agama Kristen yang lebih mayoritas, tidak pernah terjadi sama sekali di sana
pertengkaran-pertengkaran antar agama dan tidak pernah terjadi pembakaran-pembakaran
Gereja di Nias seperti yang terjadi di daerah-daerah lain. Walaupun memang
sebenarnya pulau Nias ini termasuk daerah yang tertinggal seperti dalam hal
pendidikan, ekonomi, pariwisata, dan lain sebagainya.[28]
Menurut
bapak Pdt. Terifosa Nduru, Nilai
toleransi di Nias sangat tinggi, hampir tidak ada atau jarang konflik antar
umat beragama di Nias. Mayoritas di sana adalah agama Kristen. Jadi dapat
dikatakan bahwa hubungan agama Kristen dan Islam di Nias memiliki hubungan yang snagat baik. Dalam
hubungan sosial dan budaya antar umat beragama di Nias saling mengundang, baik
juga agama Kristen dan Islam saling mengundang di dalam perayaan adat mereka.
Hubungan interaksi social pun snagat baik, tidak ada pembedaan-pembedaan di
antara mereka, dan mereka saling menghargai satu sama lain. Dalam hal politik
pun hubungan sangat baik, mislanya banyak juga pejabat, anggota dewan, dan
pimpinan parpol yang beragama Islam, demikian juga sebaliknya, dalam hal
politik pun orang Kristen juga berperan besar dan saling menghargai satu sama
lain di antara mereka.[29]
Menurut
Prof. Dr. Katimin, M.Ag, hubungan
Kristen dan Islam di Nias memiliki hubungan yang baik. Selama ia ditugaskan di
Nias, tidak pernah terjadi perselisihan/permasalahan antar agama. Walaupun mayoritas
agama di Nias ialah Agama Kristen, tetapi terjalin hubungan yang sangat baik
antar agama di sana.[30]
2.8. Bukti Nyata Hubungan
yang Baik agama Kristen dan Islam di Nias
1. Festival Rakyat Nias
November
2017 lalu, masyarakat pariwisata dunia menyaksikan dari dekat festival rakyat
Nias Ya'ahowu /Kemenpar RI. Jakarta – Umat Kristen Nias yang tergabung dalam
Orahua Niha Keriso Protestan (ONKP) atau Persekutuan Orang-Orang Kristen
Protestan yang berpusat di Desa Tugala Kecamatan Lahomi Kabupaten Nias Barat,
Sumatera Utara, meminta Kementerian Agama RI membantu pembangunan madrasah dan
surau yang rusak karena bencana tsunami di Pulau Nias. Hal ini disampaikan
Pimpinan ONKP, Pdt Saradodo Gulo saat bersilaturahim dengan Menteri Agama
Lukman Hakim Saifuddin di kantor Kemenag, Jakarta, Selasa (23/01/2018). Tampak
hadir beberapa pengurus ONKP, baik dari Nias Barat maupun yang tinggal di
Jabodetabek. Mereka antara lain: Pdt Etika Hra, Pdt Onas Hia (Sekjen), Pdt
Fenius Gulo, Pdt Sulaeman Daeli, dan Pdt Yulialina Zri.
Saradodo
mengatakan, kerukunan umat beragama di Nias Barat, berjalan dengan baik. “Kami
meski beda agama, tapi saling menghormati. Saat ada hari besar agama, baik
Kristen maupun Islam, kami saling bantu dan ikut jadi panitia. Itu kami lakukan
saat mendapat masukan dari banyak tokoh,” terang Saradodo. “Pak Menteri, tolong
untuk bisa merenovasi madrasah dan mushola yang masih rusak di daerah kami di
Nias Barat. Nias merupakan daerah pedalaman yang belum maju dan terbatas
ekonominya,” imbuh Saradodo.
Selain memintakan pembangunan gedung madrasah dan mushalla yang rusak, Saradodo juga meminta kejelasan tentang SK kepemimpinan di ONKP, cara mendapatkan bantuan fisik gereja, dan beasiswa untuk para pendeta. Menag yang dalam kesempatan tersebut didampingi Dirjen Bimas Kristen Thomas Pentury dan Sesmen Khoirul Huda berjanji akan menindaklanjuti keinginan pembangunan madrasah dan mushalla di Nias. Pihaknya akan berkomunikasi dengan Kakankemenag Nias Barat. “Nanti saya akan berkomunikasi dengan Kakankemenag Kabupaten Nias Barat, tentang apa yang bisa dilakukan, baik oleh Kemenag Pusat, Kemenag Kabupaten maupun yang bisa dikerjasamakan dengan Pemkab. Untuk teknis bantuan fisik gereja, beasiswa dan SK, bisa dikomunikasikan dengan Pak Thomas (Dirjen Bimas Kristen),” jawab Menag.
Selain memintakan pembangunan gedung madrasah dan mushalla yang rusak, Saradodo juga meminta kejelasan tentang SK kepemimpinan di ONKP, cara mendapatkan bantuan fisik gereja, dan beasiswa untuk para pendeta. Menag yang dalam kesempatan tersebut didampingi Dirjen Bimas Kristen Thomas Pentury dan Sesmen Khoirul Huda berjanji akan menindaklanjuti keinginan pembangunan madrasah dan mushalla di Nias. Pihaknya akan berkomunikasi dengan Kakankemenag Nias Barat. “Nanti saya akan berkomunikasi dengan Kakankemenag Kabupaten Nias Barat, tentang apa yang bisa dilakukan, baik oleh Kemenag Pusat, Kemenag Kabupaten maupun yang bisa dikerjasamakan dengan Pemkab. Untuk teknis bantuan fisik gereja, beasiswa dan SK, bisa dikomunikasikan dengan Pak Thomas (Dirjen Bimas Kristen),” jawab Menag.
Thomas
Pentury mengatakan, Ditjen Bimas Kristen telah memiliki sistem online.
“Silahkan registrasi di Bimas Kristen secara online, untuk kemudian akan
diverifikasi dan dilihat apakah pengajuan tersebut layak untuk dibantu atau
tidak,” jawab Dirjen. Kristen ONKP memiliki 48.349 jiwa jemaat yang tersebar di
255 gereja dan 55 resort di seluruh Indonesia.
2.
Idul Adha dan Natal — Relasi Harmonis Muslim-Kristen[31]
Catatan:
Dalam sebuah ulasan di Tabloid Reformata Edisi 73 yang belum lama terbit
Idul Adha
dan Natal
Relasi
Harmonis Muslim-Kristen
Oleh
Yenny Zannuba Wahid:
Tahun ini umat Muslim dan umat Kristiani akan merayakan hari raya dalam
waktu yang berdekatan. Idul Adha akan dirayakan empat hari sebelum perayaan
Natal. Realitas dua hari besar agama yang hampir bersamaan ini mesti menjadi
satu momentum untuk menerjemahkan ajaran toleransi dalam konteks kebangsaan.
Idul Adha adalah hari besar agama kedua umat Muslim setelah Idul Fitri, yang
lazim disebut dengan Hari Raya Kurban. Kurban sendiri berarti persembahan untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Itu dalam bentuk atau wujud sesuatu yang bagi si
pelaku dirasa sebagai yang paling disenangi, atau paling dihargai. Semakin
tinggi nilai pengorbanan seseorang, semakin dekat pula pada keridhaan-Nya.
Umumnya, kurban diwujudkan dalam menyembelih hewan ternak yang dagingnya kemudian
dibagikan kepada mereka yang berhak mendapatkan, utamanya kaum papa yang miskin
harta (al-mustadh’afun).
Secara
garis besar bisa dikatakan, Idul Adha merupakan pelembagaan atas pengalaman
spiritual agung dari bapak keyakinan Tauhid umat manusia, yakni Nabi Ibrahim.
Dari beliau inilah diturunkan generasi para nabi yang kemudian mengajarkan
keesaan Tuhan (baca: monoteisme) dalam tiga tradisi agama: Pertama, tradisi
Yahudi yang diajarkan oleh Musa dengan kitab Tauratnya; Kedua, tradisi
Kristiani yang diajarkan oleh Isa dengan kitab Injilnya; dan Ketiga, sebagai
pamungkas, tradisi Islam yang diajarkan oleh Muhammad SAW dengan kitab
al-Quran-nya.
Natal
sendiri adalah perayaan atas kelahiran Yesus. Dalam perspektif umat Kristiani,
Yesus dihormati sebagai Sang Penebus dosa. Umat Kristiani juga melihat
pentingnya momen kelahiran Yesus. Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa Yesus
lahir di sebuah kandang. Orang tuanya, Maria dan Yusuf, termasuk kalangan
rakyat jelata dan hidup sederhana (Injil Lukas, 2: 4-7). Di sini, makna Natal
sesungguhnya tersimpan. Yakni ajakan untuk hidup bersahaja dan rasa solidaritas
tinggi terhadap kaum miskin dan lemah; terutama dalam rangka berbuat-baik,
tidak berkeras hati, dan selalu berpihak pada orang kecil, serta tidak memberi
ruang pada kebencian.
Dalam
literatur Islam, Yesus adalah Nabi Isa yang merupakan satu di antara sekian
Nabi yang mesti diimani umat Muslim. Seorang Muslim tidak akan dikatakan
sebagai seorang Muslim yang sempurna bila ia tidak mengakui keberadaan dan
ajarannya. Iman kepada Nabi Isa merupakan salah satu pilar rukun iman yang
sangat fundamental. Beliau juga termasuk satu dari lima nabi yang bergelar ulul
‘azmi, (berpendirian teguh), selain Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, dan
Nabi Muhammad. Betapa tinggi kedudukan Yesus dalam Islam, sampai-sampai
al-Quran sendiri menganjurkan umat Islam untuk mengucap salam kesejahteraan
(baca: selamat Natal) pada hari kelahirannya. Dari sini bisa disimpulkan,
hubungan ketiga agama besar ini sangatlah intim. Bagaimana tidak, tiga agama
terlahir dari satu rahim yang sama. Idealnya, kedekatan geneologis ini berimbas
pada praktik keseharian antar-penganutnya di mana tumbuh iklim saling
menghargai dan toleransi; dan lebih luas lagi, pada keharmonisan dalam konteks
kehidupan keberagamaan di negeri tercinta ini.
Faktanya,
keberagamaan kita seringkali dilanda konflik dan ketegangan. Alih-alih mengakui
keyakinan agama lain, menghormati tempat-tempat ibadah agama lain saja susah
dilakukan. Bahkan tak jarang tindak intimidasi dan kekerasan dilakukan. Bukan
toleransi yang kemudian nampak, tapi justru intoleransi. Padahal, praktik
toleransi dan sikap penghargaan terhadap non-Muslim sebenarnya memiliki akar
historis dalam sejarah perjalanan Islam. Baik pada zaman Nabi, sahabat,
tabi’in, maupun ulama-ulama mutakhir. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam, Nabi
Muhammad pernah menerima kunjungan delegasi Kristiani dari Provinsi Najran
sebanyak 60 orang dengan dikepalai oleh al-‘Aqib Abdul Masih, al-Ayham, dan Abu
Haritsah ibn ‘Alqamah. Mereka semua memakai jubah dan surban, pakaian yang juga
biasa dikenakan Nabi dan para sahabatnya. Sesampai tiba di Madinah mereka
langsung menuju masjid. Saat itu, Nabi tengah mengerjakan shalat Ashar bersama
beberapa sahabat. Dan ketika waktu kebaktian tiba, Nabi memperkenankan mereka
untuk melakukan sembahyang di dalam masjid.
Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah mengkisahkan bahwa Nabi menegur istri tercinta Aisyah agar
tidak bersikap kasar terhadap orang yang berbeda agama. Itu ketika suatu ketika
rombongan Yahudi lewat di depan Nabi dan para sahabat. Tiba-tiba seorang dari
mereka mengucap salam kebencian, dan ‘Aisyah pun langsung membalas dengan salam
serupa. Mendengar ucapan istrinya, Nabi kemudian berkata: Wahai Aisyah, kamu
hendaknya bersikap lemah lembut dan mengutamakan kasih dalam pelbagai perkara.
Sikap yang sama diperlihatkan kalangan Kristiani. Dikisahkah juga oleh Ibnu
Hisyam, ketika umat Islam dikejar-kejar kaum kafir Quraisy Mekah, raja Abesinia
yang Kristen memberi mereka jaminan keamanan dan perlindungan. Ratusan sahabat Nabi
seperti Utsman bin Affan, Abu Hudzaifah bin ‘Utbah, Zubair bin Awwam,
Abdurrahman bin ‘Auf, Abdullah ibn Jahsy, Ja’far bin Abi Thalib, secara
bergelombang hijrah ke Abesinia untuk menghindari kekerasan kaum kafir Mekah.
Bahkan saat kafir Makkah meminta raja Najasy untuk mengembalikan lagi umat
Islam itu ke kota Mekah, sang raja tetap pada pendiriannya semula untuk
melindungi pengikut agama Islam.
Dalam konteks inilah surat al-Maidah ayat 82
diturunkan, “Sesungguhnya kamu akan jumpai yang paling dekat persahabatannya
dengan orang- orang beriman adalah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya kami
ini orang-orang Kristiani” Sahabat Nabi juga memberi kita teladan istimewa
bagaimana semestinya bergaul dengan orang yang berbeda agama, terutama kaum
Kristiani. Saat pasukan Khalifah Umar ibn Khattab pimpinan Abu Ubaidah
al-Jarrah berhasil mengalahkan pasukan Romawi yang Kristiani dalam pertempuran
Yarmuk di Elia (Jerusalem), dibuat satu kesepakatan damai antara kedua belah
pihak. Isinya antara lain adalah jaminan Umar bahwa gereja mereka tidak akan
diduduki ataupun dihancurkan, harta-benda mereka tidak akan dijarah, dan mereka
diberi kebebasan untuk beraktivitas dan beragama menurut keyakinan mereka
sendiri.
Beberapa
kisah di atas sengaja penulis kemukakan untuk menunjukkan nuansa harmoni
hubungan Islam dan Kristiani di zaman Nabi. Sikap saling menghargai dan
toleransi sesama telah begitu gamblang diteladankan Nabi beserta sahabatnya,
bahkan dalam praktik peribadatan sekalipun. Nabi telah mengukuhkan itu semua semenjak
kehadiran Islam. Karena itu, tidak seharusnya curiga dan benci yang
dikedepankan. Al-Quran sendiri tegas mengatakan, Hai orang-orang beriman,
hendaklah suatu kaum tidak menghina kaum yang lain, karena bisa jadi mereka
yang dihina lebih baik dari yang menghina (QS. al-Hujurat [49]: 11). Memang,
ada beberapa perbedaan antara ajaran Kristiani dan ajaran Islam. Tapi harus
diakui pula bahwa terdapat persamaan-persamaan yang bisa dirajut bersama,
terutama dalam hal menebarkan cinta-kasih kepada mereka yang lemah, kaum
miskin. Dalam hal ini, Idul Adha dan Natal membagi pengalaman dan ajaran yang
sangat berharga, bahwa untuk menebarkan kasih tersebut harus dimulai dari
diri-sendiri, dari keluarga, sehingga dapat dijadikan teladan bagi umat yang
lain.
Menurut Diana
L Eck (2002), bahwa perjumpaan nilai dan budaya dalam agama-agama semestinya
harus menjadi modal untuk mengembangkan asimilasi dan peleburan, terutama dalam
rangka menjadikan perbedaan sebagai energi positif dalam konteks kebangsaan. Berpijak
dari sini, kehidupan keberagamaan mau tidak mau mesti diciptakan harmonis.
Menebar kasih dan perdamaian dalam semangat toleransi adalah jalan terbaik
menuju itu, sebagaimana inti ajaran Islam dan Kristiani sendiri. Maka dari itu,
hari raya Idul Adha yang berdekatan dengan Hari Raya Natal tahun ini adalah
momentum yang tepat untuk merealisasikannya. Sebab sejatinya kedua agama adalah
saudara, lahir dari satu rahim yang sama, yakni Nabi Ibrahim yang mengesakan
Tuhan. Apabila keharmonisan terwujud di antara pluralitas penghuni negeri ini,
sangat pantas bila kita berandai-andai Indonesia di masa depan akan menjadi
negeri yang harmoni, aman dan sejahtera, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Penulis
adalah Sekjen DPP PKB dan Direktur The Wahid Institute
III. Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan agama Kristen dan agama
Islam di Nias memiliki hubungan yang baik. Walaupun memang pada masa orde baru
ada sedikit masalah hingga meracuni persaudaraan agama di Nias terkhusus antara
umat Kristen dan Islam. Namun setelah itu dapat kita lihat dari hasil ulasan di
atas, bahwa hubungan agama Kristen dan Islam sudah sangat baik, bahkan sangat
baik karena mereka saling menghadiri dalam perayaan hari-hari besar keagaamaan
baik agama Kristen maupun Islam. Ini memberikan dampak yang baik bagi
daerah-daerah Indonesia yang lain untuk membangun persaudaraan antar agama.
Dapat disimpulkan juga, hingga saat ini agama yang mayoritas adalah masih tetap
agama Kristen Protestan hingga saat ini.
IV. Daftar Pustaka
1. Sumber Buku
Aritonang, Jans, Sejarah
Perjumpaan Kristen Dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2001
End, Van den, J.
Weitjens, Ragi Carita Jilid 2: Sejarah
Gereja di Indonesia 1860 – Sekarang, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008
Garang, Phil J., Nias : Membangun Harapan Menapak Masa Depan,
Jakarta: Yayasan Tanggul Bencana Indonesia, 2007
Hidayah, Zulyani, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015
Husin, Suady, Suatu Tinjauan Tentang Ada Perkawinan dan Warisan Pada Masyarakat Islam
di Nias Pesisir, Fakultas Ilmu Sosial IKIP Medan Tahun 1976
Koenjaraningrat, Pengantar
Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Kruger, Muller, Sejarah Gereja di Indonesia, Jakarta:
BPK-GM
Nurcholis, Sejarah Nasional
dan Sejarah Umum,
Bandung: Angkasa, 1994
Telaumbanua, Tuhoni,
dan Uwe Hummel, Salib Dan Adu, Studi
sejarah dan Sosial-budaya Perjumpaan Kekristenan dan kebudayaan Asli Di Nias
dan Pulau-Pulau Batu, Indonesia (1865- 1965), Jakarta, BPK Gunung Mulia:
2015
Titaley, John, Pluralisme dan Kerukunan Hidup Beragama: Jakarta:
Suara Merdeka, 2005
Van Th., den End, Ragi
Carita I, Jakarta: BPK-GM, 1980
Gulö, W., Benih Yang Tumbuh XIII, Semarang: Satya Wacana, 1983
Wellem, F. D., Kamus
Sejarah Gereja , BPK-GM, 2004
.
2. Sumber
Wawancara Kelompok
Hasil Wawancara dengan Pdt. Siti Suarni
Gee, Hubungan Agama Kristen dan Islam di
Nias, Dilaksanakan Jumat, 20 April 2018, melalui via Seluler.
Hasil wawancara dengan
Bapak Iwan Laksaro Nduru dari Gereja Karismatik, Mengenai Hubungan Kristen dan Islam di Nias, Dilaksanakan Sabtu, 21
April 2018
Hasil wawancara dengan
Bapak Terifosa Nduru dari Gereja ONKP Mahasiswa STT Abdi Sabda Medan, Mengenai Hubungan agama Kristen dan Islam di
Nias dalam bidang social, budaya, dan politik, Dilaksanakan Senin 23 April
2018, Via Seluler.
Hasil
wawancara dengan Bapak Prof. Dr. Katimin, M.Ag dosen Universitas Muhammadiyah, Mengenai Hubungan agama Kristen dan Islam di
Nias, Dilaksanakan Senin 7 Mei 2018 , Via seluler.
3. Sumber Lain
http://www.niasisland.com/home/writing_disp.php?writing_no_option=001369&category_code_option
diakses pada tanggal 01 Mei 2018
https://kanisbar.wordpress.com/2008/07/17/orde-baru-meracuni-persaudaraan-oleh-agama-di-nias/, diakses pada tanggal 02 Mei 2018
[1] Tuhoni Telaumbanua
dan Uwe Hummel, Salib Dan Adu, Studi
sejarah dan Sosial-budaya Perjumpaan Kekristenan dan kebudayaan Asli Di Nias
dan Pulau-Pulau Batu, Indonesia (1865- 1965), (Jakarta, BPK Gunung Mulia:
2015), 13
[2] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 57
[7] Nama Lowalangi (lowalani) sebelum Kekristenan
masuk di Nias, sering dipergunsksn sebagai nama seseoran, ata gelar/nama
kebesaran yang diberikan seseorang menurut hokum adat, mislanya Lowalangi Tola Gi’a (Nias Utara), Tuha Lowalani (Nias Selatan). Hal ini
membuktikan bahwa nama Lowalangi lebih
kuasa dianggab sebagai sumber berkat, kebaikan, sekaligus sebagai symbol
keagungan.
[11] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan
Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2006, hlm. 74
[12]http://www.niasisland.com/home/writing_disp.php?writing_no_option=001369&category_code_option=AR
diakses pada tanggal 01 Mei 2018
[13] W. Gulö, Benih Yang Tumbuh XIII,( Semarang: Satya Wacana,
1983), 6
[16] RMG merupakan singkatan dari Rheinisce
Missionsgesellschft, didirikan di Barmen pada tahun 1828 sebagai dari
penggabungan beberapa PI di daerah sungai Rhein dan bersifat interdominasi.
Tujuannya adalah memberitakan dan mendirikan kerajaan Allah di tengah-tengah
dunia orang kafir, bukan untuk membawa pertikaian gereja yang terjadi di Eropa.
RMG berjasa bagi penanaman Injil dan tumbuhnya Gereja Kristen Evanggelis
(GKE)., HKBP, BNKP, GKPM (Mentawai), dan lain-lain. Juga bekerja di Afrika dan
Tiongkok. F. D Wellem, Kamus Sejarah Gereja , BPK-GM, 2004,
hlm. 402
[23] https://kanisbar.wordpress.com/2008/07/17/orde-baru-meracuni-persaudaraan-oleh-agama-di-nias/, Diakses pada tanggal
02 Mei 2018.
[24] Van den End, J.
Weitjens, Ragi Carita Jilid 2: Sejarah
Gereja di Indonesia 1860 – Sekarang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet. 7,
2008), 211-217.
[25] Phil J. Garang, Nias : Membagun Harapan Menapak Masa Depan, (Jakarata:
Yayasan Tanggul Bencana Indonesia, 2007), 47
[27] Hasil Wawancara
dengan Pdt. Siti Suarni Gee dari Gereja BNKP, Hubungan Agama Kristen dan Islam di Nias, Dilaksanakan Jumat, 20
April 2018, melalui via Seluler.
[28] Hasil wawancara
dengan Bapak Iwan Laksaro Nduru dari Gereja Karismatik, Mengenai Hubungan Kristen dan Islam di Nias, Dilaksanakan Sabtu, 21
April 2018.
[29] Hasil wawancara
dengan Bapak Terifosa Nduru dari Gereja ONKP Mahasiswa STT Abdi Sabda Medan, Mengenai Hubungan agama Kristen dan Islam di
Nias dalam bidang social, budaya, dan politik, Dilaksanakan Senin 23 April
2018, Via Seluler.
[30] Hasil wawancara
dengan Bapak Prof. Dr. Katimin, M.Ag dosen Universitas Muhammadiyah, Mengenai Hubungan agama Kristen dan Islam di
Nias, Dilaksanakan Senin 7 Mei 2018 , Via seluler.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar