Senin, 02 Desember 2019

HUBUNGAN KRISTEN DAN ISLAM DI NIAS


HUBUNGAN KRISTEN DAN ISLAM DI NIAS

I.          Pendahuluan
            Pulau Nias merupakan salah satu jalan lintas utama Asia Tenggara yang memiliki sejarah panjang yang berinteraksi dalam perdagangan dengan budaya lain. Pulau Nias yang terletak di sebelah barat pulau Sumatra lebih tepatnya terletak kurang lebih 85 mil laut dari Sibolga, daerah Provinsi Sumatera Utara  ini dihuni oleh suku Nias atau mereka menyebut diri mereka “Ono Niha” yang masih memiliki budaya megalitik. Pulau yang memiliki penduduk mayoritas Kristen protestan yang telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Memang dalam hal ini di pulau Nias terdapat juga beberapa agama lainnya seperti Islam, Buddha, Hindu, dan lain sebagainya, maka fokus kita saat ini adalah membahas hubungan agama Kristen dan Islam di Nias.

II.       Pembahasan
2.1.        Sekilas Tentang Pulau Nias
                 Nias adalah daerah kepulauan yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera, Indonesia, dan secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara Kepulauan Nias terdiri dari 132 pulau, memiliki luas daratan kurang lebih 5.625 km2 (7,8 % dari wilayah Sumatra Utara), yang terletak diantara 0ᵒ 12‘ dan 1ᵒ 32‘ garis lintang Utara dan 97ᵒ dan 98ᵒ bujur Timur. Menurut  E. Fries yang dikutip Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, mengatakan bahwa kepulauan Nias berbatasan dengan : [1]
·         Di bagian utara dengan pulau-pulau banyak Aceh
·         Di bagian selatan dengan Pulau Mentawai—Sumatra Barat
·         Di Bagian Timur dengan Tapanuli Tengah—Sumatra Utara.
·         Di bagian Barat dengan Samudra Hindia
                 Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias yang termasuk ke dalam salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Dalam bahasa aslinya orang Nias menemakan diri mereka sebagai Ono Niha. Ono, berarti anak/keturunan, sedangkan Niha berarti manusia.[2] Dulunya kepulauan Nias merupakan salah satu kabupaten di propinsi Sumatra Utara, namun pada tahun 2003 Kepulauan Nias menjadi dua kabupatan yakni kabupaten Nias dan Nias Selatan (Nias Selatan mencakup pulau-pulaau batu yang diakui sebagai kabupaten pada 25 Februari 2003 dan diresmikan pada 28 Juli 2003). Pada 29 Oktober 2008 terjadi pemekaran besar-besaran di kabupaten Nias—Nias Induk, Nias Barat, Nias Utara dan Kota Gunungsitoli.[3]

2.1.1.      Konteks Adat Kebudayaan
                 Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik yang dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih bisa ditemukan di wilayah pedalaman pulau Nias sampai sekarang.[4]

2.1.2.      Konteks Kependudukan, Keadaan Masyarakat dan Sistem Kemasyarakatan Suku Nias
Jumlah penduduk Kabupaten Nias pada saat ini kurang lebih mencapai 442.548 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar 127 jiwa/km² dan 85.361 rumah tangga. Keadaan penduduk menunjukan bahwasanya lebih banyak jumlah perempuan dari pada laki-laki. Sedangkan untuk sistem kemasyarakatan suku Nias bisa dikatakan bahwa masyarakat Nias hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Untuk keadaan masyarakat Nias pada sekarang ini sudah mengalami cukup kemajuan baik dari segi pendidikan, tempat tinggal, transportasi maupun komunikasi. Pendidikan merupakan patokan utama yang mendukung sumber daya pada masyarakat Nias. Jika dulu kebanyakan orangtua masih bersifat primitif dengan konsep perempuan sebagai pekerja rumah dan laki-laki sebagai pengubah kondisi keluarganamun dengan diberikannya kesempatan untuk mengecap pendidikan sehingga perubahan dalam dunia pendidikan sudah menjadi konsumsi sehari-hari bagi orangtua dengan tidak pilih kasih dan mau menyekolahkan anaknya baik perempuan maupun laki-laki.[5]

2.1.3.      Konteks Keagamaan
                 Sebelum datangnya agama Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindia, dan Buddha di kepulauan Nias, orang Nias sebagai salah satu suku yang tergolong tua telah memiliki sistem kepercayaan tersendiri. Agama suku Nias percaya kepada kuasa-kuasa yang ada di luar dirinya dan sangat erat hubungannya dengan pandangan Ono Niha terhadap kosmos. Sumber pemahaman mengenai hal ini adalah mitos-mitos tentang penciptaan  yang ada di dalam masyarakat, karena agama suku Nias tidak memiliki kitab Suci sehingga ajarannya hanya ada dalam bentuk tradisi lisan saja yang dituturkan dari mulut ke mulut. Agama suku Nias tidak mengenal adanya satu kekuasaan yang tertinggi sebagai pencipta , dan yang disembah sebagai Tuhan. Ibadah agama suku Nias hanya merupakan penyembuhan kepada kuasa roh-roh nenek moyang, dan kuasa-kuasa alam.[6]
                 Pada permulaan usaha Pekabaran Injil, para misionaris berusaha mencari nama sesuatu kekuasaan atau dewa yang tertinggi sebagai pencipta, yang disembah dalam agama suku Nias untuk menterjemahkan nama Allah menurut pemahaman Kristen ke dalam bahasa Nias , dan mereka menemukan Lowalangi.[7] Demikianlah agama yang berakar di pulau Nias adalah agama Kristen. Agama, Penduduk dan Mata Pencaharian Agama mayoritas di daerah ini adalah Kristen Protestan dimana 90% penduduknya memeluk agama ini, sedangkan sisanya beragama Katolik, Islam, dan Budha. Penduduk yang memeluk agama Islam pada umumnya berada di wilayah pesisir Kepulauan Nias.

2.2.       Masuknya Agama Islam dan Agama Kristen ke Pulau Nias
2.2.1.         Masuknya Agama Kristen
   Keberadaaan Kekristenan di Indonesia tidaklah terlepas dari kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia yang membawa agama tersebut. Hal ini diawali dengan kedatangan bangsa Portugis pada abad ke-16 yang membawa agama Katolik. Dalam perkembangannya, datanglah Belanda melalui VOC yang tidak mengutamakan pekabaran injil yang namun memprotestankan pemeluk Katolik,[8] dengan alasan-alasan komersil. Hal ini tidak berarti tidak ada misi yang dilakukan sebab di daerah-daerah Malaka, Makasar, Padang, Semarang, Surabaya dan lain-lain telah dibentuk jemaat seiring dengan meluasnya perdagangan dan kekuasaan VOC di wilayah-wilayah tersebut.[9]
Ketika VOC (Perusahaan India Timur Belanda) tiba di Indonesia, Pulau Nias dikenal oleh Belanda sebagai sumber budak diekspor ke Aceh dan Padang. Pada tahun 1669 VOC mulai perdagangan dengan Pulau Nias. Awalnya mereka diperdagangkan hanya dalam memproduksi, tapi karena ini tidak cukup menguntungkan mereka segera melakukan bisnis dalam perdagangan budak. Budak dari Nias dibeli oleh Belanda untuk digunakan pada peternakan yang dimiliki oleh VOC di Sumatera. Pada 1693 VOC mendirikan basis pertamanya di Nias yakni di Gunung Sitoli. Di mana mereka membangun sebuah pelabuhan, rumah dan toko. Pada 1740 VOC meninggalkan Nias untuk baik sebagai urat perusahaan berpengaruh di Asia Tenggara. 1776 Inggris tiba dan mengambil alih pos perdagangan di Gunung Sitoli tetapi segera ditinggalkan, karena tidak cukup menguntungkan. Akhirnya Belanda memegang kendali pulau lagi pada tahun 1825. Kendali mereka hanya mencapai daerah sekitar Gunung Sitoli karena banyak pemberontakan pemberontakan melawan Belanda, khususnya di selatan.[10] Pembubaran VOC pada tanggal 31 Desember 1799 karena hutang mengalihkan kekuasaan atas Nusantara ke tangan pemerintahan Belanda secara langsung. Pemerintah Belanda (Hindia-Belanda), berbeda dari VOC. Tidak lagi mengemban amanat yang dirumuskan gereja reformasi Belanda dalam pengakuan iman nya sehingga menjadi netral di bidang keagamaan yang didukung juga dengan kekuasaan Inggris sejak 18 September 1811 sampai tahun 1816. Setelah itu kekuasaan kembali diserahkan kepada pemerintah Belanda. Seiring dengannya, lembaga-lembaga misi, mulai berkembang di Eropa dan mengirim para pekabar Injil termasuk ke Indonesia. Lembaga inilah yang datang dan membangun kekristenan di Nias.[11]
2.2.2.      Masuknya Agama Islam di Nias[12]
Dimulai dari konflik sebuah kerajaan Islam di Preumbeue Meulaboh dengan kepala pemerintahannya Teuku Chik dari Meuraza Kutacane (Banda Aceh). Teuku Chik mempunyai 2 orang putra dan 1 orang putrid yaitu
1.      Teuku Polem
2.      Teuku Imam Bale
3.      Siti Zalikha
Teuku Polem sebagai anak tertua bertugas membantu ayahnya dalam bidang keagamaan dan pemerintahan dan Tengku Imam Bale bertugas dalam bidang keagamaan. Pada masa pemerintahan Teuku Chik ini, pantai pesisir barat kerajaan Aceh sering diganggu oleh perampok oleh bajak laut. Oleh sebab itu Teuku Polem sering langsung memimpin operasi pengamanan sepanjang pantai barat hingga Natal. Sewaktu Teuku Polem berada di Tapak Tuan, ayahnya Teuku Chik meninggal dunia, sehingga untuk sementara kekuasaan diserahkan kepada adiknya Teuku Imam Bale. Karena kesedihannya, dengan berjiwa besar Teuku Polem menyerahkan tugas itu kepada adiknya, akan tetapi ia bertekad untuk tidak kembali ke Aceh tetapi beliau berlayar sampai menemukan daerah baru dan dijadikan tempat tinggal anak dan cucunya kelak. Denga menggunakan 5 buah pencalang (perahu besar), Teuku Polem beserat rombongan meninggalkan Meulaboh dan berlayar ke arah Selatan Pulau Sumatra, setelah beberapa lama berlayar, pada tahun 1642 itu juga, Teuku Polem beserta rombongan tibalah di suatu pulau yaitu Pulau Nias, tepatnya di Luaha Laraga Idanoi. Sesampainya di sana mereka disambut baik, karena kedatangan mereka tidak menandakan musuh, apalagi orang Aceh ini kebiasaanya makan sirih dan begitu pula orang Nias, sehingga melihat rombongn ada yang makan sirih menjadikan pimpinan masyarakat Nias yang berada di Luaha Laraga Idanoi yang disebut dengan Balugu menyambut kedatangan rombongan dari Aceh ini, dan tinggal di sana selama 2 tahun yaitu tahun 1642-1644. balugu Harimao mempunyai 3 orang putra dan 1 orang putri yaitu:
1.      Balugu Mangaraja Fagoto Harefa
2.      Balugu kaoma Kahemanu Harefa
3.      Kehomo Harefa
4.      Bowo’ana’a Harefa
Pada tahun 1643 yaitu 1 tahun setelah tiba di Luaha Laraga Idanoi, Teuku Polem kawin dengan putri Balugu Harimao yang bernama Bowoana’a Haref, maka beliau inilah yang diketahui pertama kali memeluk agama Islam di Pulau Nias. Setelah Bowoana’a masuk Islam, anak saudaranya Fagowa Harefa yang bernama si Acah Harefa masuk Islam, keturunannya sekarang adalah penduduk kampong Miga Ori Tabaloho Dahana kecamatan Gunungsitoli, menyusul Kehomo Harefa dan keturunannya sekarang sebagian tinggal di Desa Mudik dan sebagian di Sifahandro kecamatan Tuhemberua. Dari keluarga Bowoana’a, Balugu Kaoma Kahemanu Harefa saja yang tidak masuk Islamtetapi keturunannya beberapa abad kemudian memeluk agaman Kristen Protestan, namun keturunannya yang memeluk agama Islam berdomisili di Desa Mudik dan Sifahandro dan yang beragama Kristen Protestan berdomisili di Lasara Hili Ori Tabaloho Dahana. Pada tahun 1644, Balugu Harimao Harefa atau keluarga Teuku Polem dan rombongan yang datang dari Aceh pindah dari Ono Sitoli Laraga ke arah lembah sungai yang disebut Kali Nou dan mengambil tempat di Siwulu atau Giri’I (atua ai lo niha), yang sekarang masuk wilayah Desa Mudik. Selama Teuku Polem berada di Siwulu atau Giri’i.
2.3. Permulaan Misi di Nias
Pekabaran Injil di Nias sebenarnya telah dimulai oleh 2 orang pastor Roma Katolik dari Mission Etrangerss de Paris pada tahun 1822/1823 yaitu Pere Wallon dan Pere Barart yang awalnya bekerja di Penang dan kemudian ke Padang. Dengan ditemani sepasang suami istri Nias (Fransisco dan Sophie), mereka berangkat ke Nias dan tinggal di Lasara, dekat Gunungsitoli. Tiga hari kemudian seorang dari mereka meninggal dunia dan menyusul yang lainnya tiga bulan kemudian.[13] Pada tahun 1834 misi Protestan dari The Congregationalist Mission Society Boston Amerika Serikat (ABCFM) masuk melalui 2 orang missionarisnya yaitu Samuel Munson dan Henry Lyman. Tapi mereka tidak diberi izin oleh Belanda sehingga mereka pergi ke tanah Batak.[14]  Pada tahun 1835 pemerintah Hindia Belanda melarang tenaga misi asing untuk bekerja sehingga misi di Nias sementara waktu terhalang.[15]
Kemudian Pulau Nias mendapat perhatian dari pihak pekabar Injil kira-kira pada waktu yang sama dengan daerah Batak. Juga pada waktu itu, pemerintah Belanda berusaha untuk menetapakan pemerintahannya di kepulauan sebelah Barat Sumatera. Bahkan pemerintahlah yang meminta para pekabar Injil untuk mengerjakan pulau itu. Tetapi permintaan itu bukan berarti, bahwa pemerintah bersedia untuk menyokong pengkristenan pulau-pulau itu, melainkan hanya membuka kesempatan bagi pekabar Injil untuk bekerja disitu. Inisiatif untuk mengerjakan pulau Nias datang dari seorang pekabar Injil yaitu Denninger tepat pada tahun 1865. Ia dipindahkan oleh RMG[16] dari Kalimantan Selatan Ke Sumatera beserta dengan pekabar Injil lainnya, yang tidak diijinkan untuk bekerja di Kalimantan oleh karena pemberontakan yang berkobar di situ. Akan tetapi Denninger tidak dapat ikut masuk ke daerah Batak Selatan, oleh karena isterinya menderita penyakait yang parah. Ia tinggal di Padang serta mencari jalan guna menyebarkan Injil di kota itu. Disitu ia menjumpai orang-orang suku Nias, yang sebagian besar bekerja sebagai buruh. Denninger mempelajari bahasa mereka sedapat-dapatnya supaya ia sanggup mengajar mereka serta mendirikan sebuah jemaat Nias di Padang.[17]
Beberapa tahun kemudian datanglah beberapa pekabar Injil lagi dari Jerman, yang menetap di daerah-daerah sekitar Gunung Sitoli. Suatu tempat yang memainkan peranan penting di dalam sejarah Gereja Nias, Ombolata, yang menjadi tempat pendidikan Gereja itu dikemudian hari. Pembabtisan yang pertama dilakukan pada tahun 1874, Sembilan tahun sesudah permulaan pekerjaan mereka di kampong Hilinaa, tempat di mana 9 orang Kristen Nias yang pertama dibabtiskan. Hari Paskah 1874 merupakan hari kelahiran Gereja Nias. Berakarnya gereja Kristen di pulau Nias memakan waktu yang cukup lama. Pada Tahun 1915-1930 di antara tahun itulah penyebaran agama kristen benar-benar menancapkan pengaruhnya di pulau nias. Dia antara tahun itu juga di sebut sebagai masa pertobatan massal atau fangesadödö sebua. Selanjutnya didirikanlah BNKP (Banua Niha Keriso Protestan) pada tahun 1936 dan ONKP (Orahua Niha Keriso Protestan) berdiri pada tanggal 16 April 1952.[18]
2.4.       Tokoh Kristen
1.      Ludwig Ernest Deningger   
Ia masuk ke Nias tanggal 27 September 1865 sehingga diperingati sebagai hari peringatan masuknya Injil di Nias. Tahun-tahun pertamanya, ia mengumpulkan beberapa pemuda dan mengajar mereka membaca dan menulis. Merekalah yang menjadi pembantu-pembantunya untuk mengajar anak-anak di sekitar Gunungsitoli tahun 1866 sebagai permulaan sekolah di Nias. Ia menterjemahkan Injil Yohanes ke dalam bahasa Nias dan kemudian Injil Lukas. Tahun 1875 ia meninggalkan Nias menuju Batavia karena sakit. Di sana ia meninggal satu tahun kemudian.
2.      J. W. Thomas
Dia datang ke Nias tahun 1872. Setelah ia mempelajari bahasa Nias dari Denninger, Ia ditempatkan di Ombölata, suatu pos PI yang baru dibuka terletak 9 km di sebelah selatan Gunungsitoli. Di sini sejak kedatangannya dibaptislah 6 orang penduduk tahun 1875 dan 32 orang di Frenchu (2 km dari Ombölata) tahun 1876. tahun 1876 berdiri pula gedung gereja di Ombölata. Ia kemudian pergi mengusahakan PI di Sa’va Nias Selatan tahun 1885, namun usaha itu gagal.[19] Kegagalan itu karena perang saudara sehingga ia dipanggil ke Gunungsitoli (1886). Setelah cuti 3 tahun ia kembali (1889). Tahun 1891 ia membuka pos PI di desa Humene dekat pantai, 11 km sebelah selatan Gunungsitoli. Tanggal 17 Juli 1893 terjadi pembaptisan massal untuk 115 orang. Anak-anak diajari membaca, menulis dan menyanyi. Tahun 1894 dibangun gedung Gereja yang ada ruang belajarnya. Tahun 1985 ia membuka sekolah guru seminari di Humene. Tahun 1900 ia meninggal karena sakit dan dikebumikan di Humene. Sebelumnya ia berhasil membuat kamus “wordenboek” Nias Melayu-Belanda”, buku “Bibelkunde Thomas” dan buku nyanyian gereja. Saat ia meninggal telah ada 1.385 orang yang dibaptis di Humene dan sekitarnya, termasuk 3 cabang di kampung Fadoro, Siwalubana dan Tetehosi-Foa.[20]
3.      Kreamer
Ia tiba Gunungsitoli tahun 1873, ia berhubungan baik dengan penduduk setempat. Hampir setiap sore istrinya mengunjungi keluarga-keluarga pribumi di kampung Hiliona, 2 km di luar Gunungsitoli. Akhirnya Salawa Hilinoa’a bernama Yawaduha dan beberapa orang kampung tersebut (semua ada 25 orang) minta dibaptis pada hari paskah 1874. Inilah  pembaptisan pertama di penduduk Nias.
4.       Dr. W. H. Sunderman
 Ia tiba di Nias tahun 1876 selama 2 tahun ia bersama-sama dengan Kreamer di Gunungsitoli sambil mempelajari Bahasa Nias melalui pergaulan langsung dengan penduduk setempat dan buku-buku berbahasa Nias. Tahun 1878 ia membuka pos PI di Dahana, ± 4 km sebelah barat Gunungsitoli. Tetapi kepercayaan lama sangat kuat sehingga Injil tidak menarik bagi mereka. Karena itu ia mengalihkan perhatiannya pada lapangan pendidikan. Ia mengumpulkan pemuda setempat dan mengajar mereka membaca dan menulis. Inilah permulaan sekolah guru di Nias 1875/1876. Tahun 1880 ia cuti ke Jerman selama 2 tahun dan pekerjaan di Dahana terlantar.  Setelah cuti ia kembali Dahana (1892) karena kurang berhasil ia pindah ke Loluwua, 18 km sebelah barat Gunungsitoli dan membuka pos PI disana. Ia menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Nias yang masih dipakai sampai sekarang. Ia juga menyusun katekhismus Luther dalam bahasa Nias dengan judul “Lala Wangorifi”.[21]
5.      Pdt. Otto Rudersdorf
Otto Rudersdof menimbulkan penyesalan terhadap anggota jemaat tentang kurangnya kesadaran akan dosanya khususnya dalam persiapan untuk perjamuan kudus. Dia mengadakan pelayanan khusus selama 7 minggu sebelum Natal 1951, di gereja hari minggu sore, juga di jemaat-jemaat setiap hari kerja. Pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah besar orang Kristen Nias. Dalam hal ini seorang asisten guru bernama Filemon mengalami sebuah kesadaran akan dosa yang tidak biasa dan pertobatan yang kuat bahwa dosa-dosa nya diampuni oleh Kristus yang disalibkan. Perubahan ini mempengaruhi yang lain.[22]
Di jaman orde baru kepemimpinan di Nias sangat menyakitkan dan membawa luka serta pertentangan sesama saudara di Nias oleh alasan agama. Bagaimana tidak menyakitkan Kabupaten Nias (dulu hanya satu kabupaten) yang lebih 90 % penduduknya penganut agama kristiani (protestan dan katolik) pernah dua orang bupatinya yang beragama Islam (M.Sani Zega ada 2 periode  dan Lafau 1 periode) demikian juga kepala departemen agama ditaroh yang beragama islam sepanjang jaman orde baru. Sangat tidak masuk akal dan penuh nuansa politis namun masyarakat Nias tidak mau protes karena rezim orde baru dengan Partai GOLKARnya sangat kuat. Namun dampaknya seperti tulisan dibawah ini, tetapi sejak jaman reformasi secara perlahan-lahan keadaan mulai enak dan boleh dikatakan sekarang kerukunan umat beragama di Nias sangat harmonis.
Ada dua alasan utama keadaan harmonis sekarang yaitu :
1.      Umat kristiani sudah tidak dizolimi oleh politisasi rezim dan partai Golkar.
2.      Umat islam sudah menyadari posisinya dan tidak ada yang mau “besar kepala”  seperti pada jaman orde baru.
Mohon diberikan ulasan dan tanggapan agar apa yang terjadi dulu di Nias seperti cerita dibawah ini tidak terulangi lagi. Saohagolo di Situbondo: Muslim menganiaya Nasrani, di TimTim: Katolik menganiaya Kristen dan Muslim, di Kupang: Nasrani Menganiaya Muslim, di NIAS:Kristen menganiaya Muslim, di Ambon : Mereka saling bertikai. Tapi sebenarnya, Kekerasan penganut suatu agama terhadap penganut agama yang lain bukan monopoli penganut agama tertantu dan juga tidak berdasarkan ajaran agama yang mereka anut.  Umat Islam di Pulau Nias mengalami diskriminasi berat. Koresponden UMMAT Abdul Sattar AZ menyusuri pulau kecil di barat Sumatera Utara itu, dan menurunkan tiga tulisan.
Merana. Itulah kata yang tepat untuk melukiskan kondisi umat Islam di Pulau Nias. Pulau seluas sekitar 5.600 km2 itu berpenduduk 700 ribu jiwa, sekitar 38 ribu di antaranya beragama Islam (5,75%). Perbandingan jumlah rumah ibadah tampak proporsional, yaitu 128 mushala dan 2.252 gereja. Tapi, setiap ada mushala, maka berdiri pula gereja besar di samping mushala yang tak pernah mendapat bantuan pemerintah. Menjelang pelaksanaan MTQ di Teluk Dalam, 124 km dari Gunung Sitoli, 4
Januari 1997 lalu, 180 KK umat Islam di sana harus mengurut dada. Pada
saat persiapan muncul ancaman dan selentingan bahwa pelaksanaan musabaqah itu akan diporakporandakan. Depag dan pemuda setempat terpaksa menerjunkan petugas keamanan rahasia. “Memang, kehidupan umat Islam di sini menyedihkan,” kata H. Nukman Nasution, Kakandepag Nias kepada umat. Sehari menjelang Natal lalu, umat Islam di Labuhan Angin, Desa Lurah Saombo, Gunung Sitoli, juga harus menarik napas panjang. Waktu itu, umat Kristen sedang latihan koor memakai kibor di gereja yang berhadapan dengan mesjid. Saat shalat Isya tiba, azan mengumandang. Tiba-tiba seorang peserta latihan memaksa agar mikrofon dimatikan. Mereka tak mau mendengar  azan saat latihan. Bahkan beberapa tahun silam, seorang dai, Munir El- Asyari (38), yang ingin berdakwah di daerah terpencil, raib setelah beberapa hari melakukan tugasnya.
Mualaf. Pil pahit juga harus ditelan minoritas Islam di Kecamatan Lolovitumoi, 36 km dari Gunung Sitoli, dua bulan lalu. Mesjid swadaya masyarakat di sana nyaris tak berfungsi, karena tokoh-tokoh non-Islam keberatan dengan mesjid yang didirikan tanpa izin mereka itu. Lalu, seorang tokoh Kristen pun memotong pohon pisang persis di depan mesjid, sebagai isyarat protes. Lain pula cerita para mualaf di Amarosa, Kecamatan Lolomatua, 62 km dari Gunung Sitoli. Sebanyak 165 KK yang baru mengikrarkan syahadat secara masal dua bulan lalu, harus gemetar menghadapi gertakan seorang pastor dan ancaman pembunuhan. Madrasah dan mushala pun dilarang berdiri di desa
ini. “Kesedihan dan penderitaan kami tak bisa diungkap dengan kata-kata,”
ujar Abdullah (27), salah seorang mualaf. Dalam kondisi itulah muncul selebaran yang dikirim ke semua instansi dan tokoh agama. Isinya: Bupati H Zakaria Y. Lafau melakukan Islamisasi. Dia memang bupati pertama yang beragama Islam. “Selebaran itu dibuat orang yang tak bertanggung jawab,” tegas Lafau. Sebelum dia jadi bupati, umat Islam Nias –terutama di daerah terpencil– tak pernah bisa menyelenggarakan shalat berjamaah, pengajian, serta kegiatan ke-Islaman lainnya.
Mushala pun sering mendapat “hadiah” kotoran manusia yang tak jelas asalnya. Dari mana selebaran itu? Tokoh Protestan, Setieli Hulu BA, menegaskan, belum tentu selebaran yang mengadu domba bupati dan Kakandepag itu ulah
umat Kristen. Kabimas Kristen Protestan Depag ini menyatakan, kerukunan umat beragama di wilayah kerjanya cukup mantap. Dia menambahkan Nias
adalah milik Protestan dan Katolik yang masuk pada tahun 1865, dibawa oleh pendeta Jerman, Denninger. Baru tahun 1926 berdiri organisasi gereja
yang sampai hari ini berjumlah 23 buah. Penganut Protestan dan Katolik di
Nias, kata Satieli, kini sekitar 634 ribu jiwa (93%). Tapi, Masri Aswar Waruhu membantah pernyataan Setieli. Menurut Ketua Badan Pembina Muallaf Daerah (BPMD) Nias ini, Islam-lah yang mula-mula masuk. Dia menunjuk salah satu tulisan Almarhum Hamka bahwa Islam sudah masuk ke Nias 350 tahun sebelum Kristen. Buktinya, di daerah tertua di Nias, Pulau Hinako (Kecamatan Sirombu), 90 km dari Gunung Sitoli, penduduknya sampai hari ini masih menjalankan syariat Islam tentang hukum warisan. “Kristen masuk ke Nias pada tahun 1930. Saya bertanggung jawab mengatakan ini,” ujar Waruwu.
Pengalaman buruk itu tentu tak dialami umat beragama lain yang mayoritas. Pastor Walfried Albers asal Jerman, misalnya, bebas menyiarkan agamanya. Pastor yang tinggal di Kecamatan Lolomatua, 65 km dari Gunung Sitoli, ini bahkan mendapat dukungan dalam menggertak umat Islam. Padahal, kedatangannya ke daerah ini tanpa dokumen yang jelas. “Kami tak pernah diberitahu soal kedatangan Pastor Albers,” ungkap Abdul Gani Zebua, Humas Depag Nias. “Kami sudah melaporkan masalah ini ke pusat.” Lewat Perkawinan. Ada pula indikasi bahwa lembaga perkawinan dimanfatkan untuk keperluan Kristenisasi. Caranya dengan mengawini wanita-wanita Islam di luar daerah. Untuk kepentingan perkawinan, para pemuda Nias masuk Islam. Setelah sang istri dibawa ke Nias, ia dibaptis dan dipaksa makan daging babi. Mereka biasanya tak bisa lagi ke luar Nias. Kasus serupa, misalnya, terjadi pada Saidah (15), pelajar SMP asal Aceh. Suatu hari ia berkenalan dengan pemuda Nias. Enam bulan lalu, ia dibawa ke Kecamatan Alasa, Nias, dipaksa kawin dan dibaptis. Untunglah, setelah beberapa bulan ia berhasil dibawa keluar Nias oleh seorang tentara.
Rosmila (18), gadis ayu asal Medan, pun dipaksa kawin dan makan babi di Kecamatan Idanegaro. Saat di Medan, perkawinannya dengan pemuda Nias itu berlangsung secara Islam. Setelah memiliki seorang anak, Rosmila tak
tahan. Syukurlah, seseorang berbaik hati dan melarikannya keluar Nias. “Memang banyak sekali kejadian seperti itu. Kami masih menyelidiki, apakah ini misi atau ada faktor lain,” ujar Nukman. Informasi semacam ini memang jarang terdengar. Maklum, transportasi di daerah ini sangat sulit dan jarak antardesa sangat jauh. Depag pun tak memiliki kendaraan roda empat untuk menunjang kelancaran tugas.

2.6.       Hubungan Agama Kristen dan Islam di Nias
Dalam memahami hubungan Kristen dan Islam di Nias, perlu kita ketahui bahwa kondisi berbeda ditemukan di pulau Nias, daerah yang juga merupakan konsentrasi Kristiani. Dari dahulu sampai sekarang hubungan Kristen dan Islam di sana sangat terjalin dengan baik walaupun mayoritas agama Kristiani. Walaupun pernah terjadi masalah pada zaman Orde Baru bahwa Orde Baru meracuni persudaraan agama di Nias. Tapi itu hanya sebentar saja, jika dilihat kembalai ke hubungannya yang sekarang bahwa tidak ada permasalahan yang terjadi di Nias antar agama. Dapat kita ketahui bahwa pada daerah Nias ini juga, ada ditemukan satu kawasan di mana Muslim merupakan sebaran populasi yang paling dominan dan hidup mengelompok, meskipun persentase Muslim sangatlah kecil jika dihitung dari seluruh populasi yang ada di pulau Nias. Berdasarkan data statistik tahun 2010, jumlah penduduk kepulauan Nias diperkirakan sebesar 756.338 jiwa. Penganut Muslim hanya memiliki sebaran sebesar 5 persen atau 34.596 jiwa, sementara Kristiani mencapai 95 persen atau sebesar 720.726 jiwa. Akan tetapi, seperti telah disebutkan di atas, pada daerah ini ditemukan adanya dominasi Muslim di sebuah kecamatan yang disebut Pulau Batu Timur, merupakan daerah yang masuk dalam teritorial kabupaten Nias Selatan. Di kecamatan ini, sebaran Muslim mencapai 76 persen atau 1.897 jiwa dari total penduduk sebesar 2.483 jiwa. Kristiani hanya memiliki sebaran 24 persen atau dengan jumlah penduduk kurang dari 600 jiwa. Tentang Kristiani yang mendominasi kepulauan Nias tentunya tidak terlalu sulit dedeskripsikan, ada banyak sejarah yang mencatat bahwa kawasan ini merupakan salah satu dari misi Pekabaran Injil yang dikonsentrasikan oleh pemerintah kolonial.[24]
Masyarakat Nias adalah masyarakat yang pluralis, yang tidak hanya terdiri dari suku Nias saja, tetapi juga terdiri dari suku-suku bangsa lainnya seperti Tionghoa, Padang, Batak, dan Jawa. Hal ini terjadi karena datangnya orang-orang luar ke pulau Nias dengan berbagai kepentingan seperti perniagaan.[25] Dari segi keagamaan, masyarakat Nias juga masyarakat yang agamanya pluralistik, ada Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, dan Buddha. Dari hasil kuantitas, masyarakat Nias mayoritas Kristen Protestan. Pada kenyataannya dalam waktu jangka panjang masyarakat Nias yang agama pluralis, telah hidup berdampingan, damai, toleran, dan rukun. Secara sosiologi, masyarakat yang ada di Nias juga saling menerima, menghargai, berbaur satu sama lain, dan saling berdampingan satu sama lain dalam komunitas sosial dan kegiatan-kegiatan keagamaan. Seperti dalam perayaan keagamaan, mereka saling menghadiri. Seperti orang Kristen melakukan perayaan-perayaan keagamaan seperti Natal, Paskah yang diselenggarakan di Gereja, orang Islam datang menghadiri perayaan tersebut. Demikian juga orang islam melakukan perayaan keagamaan yang diselenggarakan di Masjid seperti hari Raya, orang Kristen datang menghadiri. Demikianlah terjadi kerukunan, saling menghargai, menerima satu sama lain. Bahkan sampai sekarang pun masih tetap ada kebiasaan berkunjung ke rumah antar pemeluk agama sebagai pengikat silaturahmi dalam perayaan-perayaan besar keagamaan seperi Hari Natal, Paskah, Hari Raya Idul Fitri. Juga dalam upacara-upacara adat, seperti pernikahan, penguburan orang mati, mereka saling menghadiri dan memberikan rasa kepedulian baik dalam suka maupun duka, sehingga tetap terjalin hubungan yang baik di antara mereka. Demikian juga masyarakat agama Kristen dan Islam di Nias sangat terjalin hubungan yang baik. Harmoni social yang tetap tercipta di masyarakat Nias membuatnya sangat berbeda dengan beberapa masyarakat di daerah-daerah lain di Indonesia yang agamis-pluralistik,  namun kenyataannya sering terjadi medan kekerasan dan ajang konflik social. Di masyarakat Nias hampir tidak pernah terjadi konflik horijontal yang bersifat destruktif. Tidak pernah terjadi kekerasan atas nama agama dan atas nama suku seperti yang terjadi di Indonesia.[26]

2.7.    Hubungan Agama Kristen dan Islam di Nias dari Hasil Wawancara
                 Menurut Pdt. Siti Suarni Gee, Hubungan Kristen dan Islam di Nias memiliki hubungan yang sangat baik, tidak terlihat sikap fanatisme antara agama Kristen dan Islam. Meskipun agama mayoritas di sana adalah agama Kristen Protestan. Bahkan ketika orang Kristen mengadakan kegiatan-kegiatan Gerejawi dan mengundang agama Islam, mereka datang menghadiri kegiatan (misalnya, Pesta Pembangunan, Hari Natal, Paskah, dan lain sebagainya) tersebut untuk duduk dan makan bersama, begitu pula sebaliknya, ketika agama Islam mengadakan perayaan besar keagamaan, orang Kristen pun hadir dan duduk makan bersama.  Dalam hubungan Kristen dan Islam di Nias juga, sikap agama Kristen sangat toleran terhadap agama Islam, bahkan hubungan pernikahan pun sering terjalin antar mereka, artinya bahwa ketika orang Kristen ingin menikah dengan agama Islam dan sebaliknya, tidak dipermasalahkan mengenai agama karena mereka meyakini bahwa setiap agama adalah sama yaitu tetap menyembah Tuhan. Dan dalam hubungan pernikahan pun yang lebih dilihat adalah kepribadian, sikap, dan pekerjaannya. Namun karena sikap orang Kristen yang terlalu toleran, semakin lama pemeluk agama Kristen semakin merosot karena terjadinya eksodus (keluar) untuk merantau dan juga menikah dengan agama lain sehingga meninggalkan Nias.[27] 
                 Menurut Bapak Iwan Laksaro Nduru, Mengenai hubungan agama Kristen dan agama Islam di Nias, selama hidupnya sampai sekarang belum pernah ada terjadi permasalahan mengenai antar agama. Mengenai bidang politik di Nias baik antara agama Kristen dan Islam pun merata dan normal. Tapi kalau di bagian pedalaman atau desa perkampungan belum merata karena pendidikannya masih kurang. Di Nias agama yang mayoritas adalah agama Kristen yaitu diperkirakan 95% dan 5%. Hubungannya sangat baik walaupun agama Kristen yang lebih mayoritas, tidak pernah terjadi sama sekali di sana pertengkaran-pertengkaran antar agama dan tidak pernah terjadi pembakaran-pembakaran Gereja di Nias seperti yang terjadi di daerah-daerah lain. Walaupun memang sebenarnya pulau Nias ini termasuk daerah yang tertinggal seperti dalam hal pendidikan, ekonomi, pariwisata, dan lain sebagainya.[28]
                 Menurut bapak Pdt. Terifosa Nduru, Nilai toleransi di Nias sangat tinggi, hampir tidak ada atau jarang konflik antar umat beragama di Nias. Mayoritas di sana adalah agama Kristen. Jadi dapat dikatakan bahwa hubungan agama Kristen dan Islam  di Nias memiliki hubungan yang snagat baik. Dalam hubungan sosial dan budaya antar umat beragama di Nias saling mengundang, baik juga agama Kristen dan Islam saling mengundang di dalam perayaan adat mereka. Hubungan interaksi social pun snagat baik, tidak ada pembedaan-pembedaan di antara mereka, dan mereka saling menghargai satu sama lain. Dalam hal politik pun hubungan sangat baik, mislanya banyak juga pejabat, anggota dewan, dan pimpinan parpol yang beragama Islam, demikian juga sebaliknya, dalam hal politik pun orang Kristen juga berperan besar dan saling menghargai satu sama lain di antara mereka.[29]
                 Menurut Prof. Dr. Katimin, M.Ag, hubungan Kristen dan Islam di Nias memiliki hubungan yang baik. Selama ia ditugaskan di Nias, tidak pernah terjadi perselisihan/permasalahan antar agama. Walaupun mayoritas agama di Nias ialah Agama Kristen, tetapi terjalin hubungan yang sangat baik antar agama di sana.[30]

2.8.       Bukti Nyata Hubungan yang Baik agama Kristen dan Islam di Nias
1.      Festival Rakyat Nias

November 2017 lalu, masyarakat pariwisata dunia menyaksikan dari dekat festival rakyat Nias Ya'ahowu /Kemenpar RI. Jakarta – Umat Kristen Nias yang tergabung dalam Orahua Niha Keriso Protestan (ONKP) atau Persekutuan Orang-Orang Kristen Protestan yang berpusat di Desa Tugala Kecamatan Lahomi Kabupaten Nias Barat, Sumatera Utara, meminta Kementerian Agama RI membantu pembangunan madrasah dan surau yang rusak karena bencana tsunami di Pulau Nias. Hal ini disampaikan Pimpinan ONKP, Pdt Saradodo Gulo saat bersilaturahim dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di kantor Kemenag, Jakarta, Selasa (23/01/2018). Tampak hadir beberapa pengurus ONKP, baik dari Nias Barat maupun yang tinggal di Jabodetabek. Mereka antara lain: Pdt Etika Hra, Pdt Onas Hia (Sekjen), Pdt Fenius Gulo, Pdt Sulaeman Daeli, dan Pdt Yulialina Zri.
Saradodo mengatakan, kerukunan umat beragama di Nias Barat, berjalan dengan baik. “Kami meski beda agama, tapi saling menghormati. Saat ada hari besar agama, baik Kristen maupun Islam, kami saling bantu dan ikut jadi panitia. Itu kami lakukan saat mendapat masukan dari banyak tokoh,” terang Saradodo. “Pak Menteri, tolong untuk bisa merenovasi madrasah dan mushola yang masih rusak di daerah kami di Nias Barat. Nias merupakan daerah pedalaman yang belum maju dan terbatas ekonominya,” imbuh Saradodo.
Selain memintakan pembangunan gedung madrasah dan mushalla yang rusak, Saradodo juga meminta kejelasan tentang SK kepemimpinan di ONKP, cara mendapatkan bantuan fisik gereja, dan beasiswa untuk para pendeta. Menag yang dalam kesempatan tersebut didampingi Dirjen Bimas Kristen Thomas Pentury dan Sesmen Khoirul Huda berjanji akan menindaklanjuti keinginan pembangunan madrasah dan mushalla di Nias. Pihaknya akan berkomunikasi dengan Kakankemenag Nias Barat. “Nanti saya akan berkomunikasi dengan Kakankemenag Kabupaten Nias Barat, tentang apa yang bisa dilakukan, baik oleh Kemenag Pusat, Kemenag Kabupaten maupun yang bisa dikerjasamakan dengan Pemkab. Untuk teknis bantuan fisik gereja, beasiswa dan SK, bisa dikomunikasikan dengan Pak Thomas (Dirjen Bimas Kristen),” jawab Menag.
Thomas Pentury mengatakan, Ditjen Bimas Kristen telah memiliki sistem online. “Silahkan registrasi di Bimas Kristen secara online, untuk kemudian akan diverifikasi dan dilihat apakah pengajuan tersebut layak untuk dibantu atau tidak,” jawab Dirjen. Kristen ONKP memiliki 48.349 jiwa jemaat yang tersebar di 255 gereja dan 55 resort di seluruh Indonesia.
2.      Idul Adha dan Natal — Relasi Harmonis Muslim-Kristen[31]
Posted on 21 December, 2007, By susuwongi
Catatan: Dalam sebuah ulasan di Tabloid Reformata Edisi 73 yang belum lama terbit
Idul Adha dan Natal
Relasi Harmonis Muslim-Kristen
Oleh Yenny Zannuba Wahid:
Tahun ini umat Muslim dan umat Kristiani akan merayakan hari raya dalam waktu yang berdekatan. Idul Adha akan dirayakan empat hari sebelum perayaan Natal. Realitas dua hari besar agama yang hampir bersamaan ini mesti menjadi satu momentum untuk menerjemahkan ajaran toleransi dalam konteks kebangsaan. Idul Adha adalah hari besar agama kedua umat Muslim setelah Idul Fitri, yang lazim disebut dengan Hari Raya Kurban. Kurban sendiri berarti persembahan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Itu dalam bentuk atau wujud sesuatu yang bagi si pelaku dirasa sebagai yang paling disenangi, atau paling dihargai. Semakin tinggi nilai pengorbanan seseorang, semakin dekat pula pada keridhaan-Nya. Umumnya, kurban diwujudkan dalam menyembelih hewan ternak yang dagingnya kemudian dibagikan kepada mereka yang berhak mendapatkan, utamanya kaum papa yang miskin harta (al-mustadh’afun).
Secara garis besar bisa dikatakan, Idul Adha merupakan pelembagaan atas pengalaman spiritual agung dari bapak keyakinan Tauhid umat manusia, yakni Nabi Ibrahim. Dari beliau inilah diturunkan generasi para nabi yang kemudian mengajarkan keesaan Tuhan (baca: monoteisme) dalam tiga tradisi agama: Pertama, tradisi Yahudi yang diajarkan oleh Musa dengan kitab Tauratnya; Kedua, tradisi Kristiani yang diajarkan oleh Isa dengan kitab Injilnya; dan Ketiga, sebagai pamungkas, tradisi Islam yang diajarkan oleh Muhammad SAW dengan kitab al-Quran-nya.
Natal sendiri adalah perayaan atas kelahiran Yesus. Dalam perspektif umat Kristiani, Yesus dihormati sebagai Sang Penebus dosa. Umat Kristiani juga melihat pentingnya momen kelahiran Yesus. Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa Yesus lahir di sebuah kandang. Orang tuanya, Maria dan Yusuf, termasuk kalangan rakyat jelata dan hidup sederhana (Injil Lukas, 2: 4-7). Di sini, makna Natal sesungguhnya tersimpan. Yakni ajakan untuk hidup bersahaja dan rasa solidaritas tinggi terhadap kaum miskin dan lemah; terutama dalam rangka berbuat-baik, tidak berkeras hati, dan selalu berpihak pada orang kecil, serta tidak memberi ruang pada kebencian.
Dalam literatur Islam, Yesus adalah Nabi Isa yang merupakan satu di antara sekian Nabi yang mesti diimani umat Muslim. Seorang Muslim tidak akan dikatakan sebagai seorang Muslim yang sempurna bila ia tidak mengakui keberadaan dan ajarannya. Iman kepada Nabi Isa merupakan salah satu pilar rukun iman yang sangat fundamental. Beliau juga termasuk satu dari lima nabi yang bergelar ulul ‘azmi, (berpendirian teguh), selain Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, dan Nabi Muhammad. Betapa tinggi kedudukan Yesus dalam Islam, sampai-sampai al-Quran sendiri menganjurkan umat Islam untuk mengucap salam kesejahteraan (baca: selamat Natal) pada hari kelahirannya. Dari sini bisa disimpulkan, hubungan ketiga agama besar ini sangatlah intim. Bagaimana tidak, tiga agama terlahir dari satu rahim yang sama. Idealnya, kedekatan geneologis ini berimbas pada praktik keseharian antar-penganutnya di mana tumbuh iklim saling menghargai dan toleransi; dan lebih luas lagi, pada keharmonisan dalam konteks kehidupan keberagamaan di negeri tercinta ini.
Faktanya, keberagamaan kita seringkali dilanda konflik dan ketegangan. Alih-alih mengakui keyakinan agama lain, menghormati tempat-tempat ibadah agama lain saja susah dilakukan. Bahkan tak jarang tindak intimidasi dan kekerasan dilakukan. Bukan toleransi yang kemudian nampak, tapi justru intoleransi. Padahal, praktik toleransi dan sikap penghargaan terhadap non-Muslim sebenarnya memiliki akar historis dalam sejarah perjalanan Islam. Baik pada zaman Nabi, sahabat, tabi’in, maupun ulama-ulama mutakhir. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam, Nabi Muhammad pernah menerima kunjungan delegasi Kristiani dari Provinsi Najran sebanyak 60 orang dengan dikepalai oleh al-‘Aqib Abdul Masih, al-Ayham, dan Abu Haritsah ibn ‘Alqamah. Mereka semua memakai jubah dan surban, pakaian yang juga biasa dikenakan Nabi dan para sahabatnya. Sesampai tiba di Madinah mereka langsung menuju masjid. Saat itu, Nabi tengah mengerjakan shalat Ashar bersama beberapa sahabat. Dan ketika waktu kebaktian tiba, Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di dalam masjid.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengkisahkan bahwa Nabi menegur istri tercinta Aisyah agar tidak bersikap kasar terhadap orang yang berbeda agama. Itu ketika suatu ketika rombongan Yahudi lewat di depan Nabi dan para sahabat. Tiba-tiba seorang dari mereka mengucap salam kebencian, dan ‘Aisyah pun langsung membalas dengan salam serupa. Mendengar ucapan istrinya, Nabi kemudian berkata: Wahai Aisyah, kamu hendaknya bersikap lemah lembut dan mengutamakan kasih dalam pelbagai perkara. Sikap yang sama diperlihatkan kalangan Kristiani. Dikisahkah juga oleh Ibnu Hisyam, ketika umat Islam dikejar-kejar kaum kafir Quraisy Mekah, raja Abesinia yang Kristen memberi mereka jaminan keamanan dan perlindungan. Ratusan sahabat Nabi seperti Utsman bin Affan, Abu Hudzaifah bin ‘Utbah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Abdullah ibn Jahsy, Ja’far bin Abi Thalib, secara bergelombang hijrah ke Abesinia untuk menghindari kekerasan kaum kafir Mekah. Bahkan saat kafir Makkah meminta raja Najasy untuk mengembalikan lagi umat Islam itu ke kota Mekah, sang raja tetap pada pendiriannya semula untuk melindungi pengikut agama Islam.
 Dalam konteks inilah surat al-Maidah ayat 82 diturunkan, “Sesungguhnya kamu akan jumpai yang paling dekat persahabatannya dengan orang- orang beriman adalah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya kami ini orang-orang Kristiani” Sahabat Nabi juga memberi kita teladan istimewa bagaimana semestinya bergaul dengan orang yang berbeda agama, terutama kaum Kristiani. Saat pasukan Khalifah Umar ibn Khattab pimpinan Abu Ubaidah al-Jarrah berhasil mengalahkan pasukan Romawi yang Kristiani dalam pertempuran Yarmuk di Elia (Jerusalem), dibuat satu kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Isinya antara lain adalah jaminan Umar bahwa gereja mereka tidak akan diduduki ataupun dihancurkan, harta-benda mereka tidak akan dijarah, dan mereka diberi kebebasan untuk beraktivitas dan beragama menurut keyakinan mereka sendiri.
Beberapa kisah di atas sengaja penulis kemukakan untuk menunjukkan nuansa harmoni hubungan Islam dan Kristiani di zaman Nabi. Sikap saling menghargai dan toleransi sesama telah begitu gamblang diteladankan Nabi beserta sahabatnya, bahkan dalam praktik peribadatan sekalipun. Nabi telah mengukuhkan itu semua semenjak kehadiran Islam. Karena itu, tidak seharusnya curiga dan benci yang dikedepankan. Al-Quran sendiri tegas mengatakan, Hai orang-orang beriman, hendaklah suatu kaum tidak menghina kaum yang lain, karena bisa jadi mereka yang dihina lebih baik dari yang menghina (QS. al-Hujurat [49]: 11). Memang, ada beberapa perbedaan antara ajaran Kristiani dan ajaran Islam. Tapi harus diakui pula bahwa terdapat persamaan-persamaan yang bisa dirajut bersama, terutama dalam hal menebarkan cinta-kasih kepada mereka yang lemah, kaum miskin. Dalam hal ini, Idul Adha dan Natal membagi pengalaman dan ajaran yang sangat berharga, bahwa untuk menebarkan kasih tersebut harus dimulai dari diri-sendiri, dari keluarga, sehingga dapat dijadikan teladan bagi umat yang lain.
Menurut Diana L Eck (2002), bahwa perjumpaan nilai dan budaya dalam agama-agama semestinya harus menjadi modal untuk mengembangkan asimilasi dan peleburan, terutama dalam rangka menjadikan perbedaan sebagai energi positif dalam konteks kebangsaan. Berpijak dari sini, kehidupan keberagamaan mau tidak mau mesti diciptakan harmonis. Menebar kasih dan perdamaian dalam semangat toleransi adalah jalan terbaik menuju itu, sebagaimana inti ajaran Islam dan Kristiani sendiri. Maka dari itu, hari raya Idul Adha yang berdekatan dengan Hari Raya Natal tahun ini adalah momentum yang tepat untuk merealisasikannya. Sebab sejatinya kedua agama adalah saudara, lahir dari satu rahim yang sama, yakni Nabi Ibrahim yang mengesakan Tuhan. Apabila keharmonisan terwujud di antara pluralitas penghuni negeri ini, sangat pantas bila kita berandai-andai Indonesia di masa depan akan menjadi negeri yang harmoni, aman dan sejahtera, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Penulis adalah Sekjen DPP PKB dan Direktur The Wahid Institute
III.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan agama Kristen dan agama Islam di Nias memiliki hubungan yang baik. Walaupun memang pada masa orde baru ada sedikit masalah hingga meracuni persaudaraan agama di Nias terkhusus antara umat Kristen dan Islam. Namun setelah itu dapat kita lihat dari hasil ulasan di atas, bahwa hubungan agama Kristen dan Islam sudah sangat baik, bahkan sangat baik karena mereka saling menghadiri dalam perayaan hari-hari besar keagaamaan baik agama Kristen maupun Islam. Ini memberikan dampak yang baik bagi daerah-daerah Indonesia yang lain untuk membangun persaudaraan antar agama. Dapat disimpulkan juga, hingga saat ini agama yang mayoritas adalah masih tetap agama Kristen Protestan hingga saat ini.

IV.    Daftar Pustaka
1.      Sumber Buku
Aritonang, Jans,  Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2001
End, Van den, J. Weitjens, Ragi Carita Jilid 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860 – Sekarang, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008
Garang, Phil J., Nias : Membangun Harapan Menapak Masa Depan, Jakarta: Yayasan Tanggul Bencana Indonesia, 2007
Hidayah, Zulyani, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015
Husin, Suady, Suatu Tinjauan Tentang Ada Perkawinan dan Warisan Pada Masyarakat Islam di Nias Pesisir, Fakultas Ilmu Sosial IKIP Medan Tahun 1976
Koenjaraningrat,  Pengantar Ilmu Antropologi,  Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Kruger, Muller, Sejarah Gereja di Indonesia, Jakarta: BPK-GM
Nurcholis,  Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, Bandung: Angkasa, 1994
Telaumbanua, Tuhoni, dan Uwe Hummel, Salib Dan Adu, Studi sejarah dan Sosial-budaya Perjumpaan Kekristenan dan kebudayaan Asli Di Nias dan Pulau-Pulau Batu, Indonesia (1865- 1965), Jakarta, BPK Gunung Mulia: 2015
Titaley, John, Pluralisme dan Kerukunan Hidup Beragama: Jakarta: Suara Merdeka, 2005
Van Th., den End, Ragi Carita I, Jakarta: BPK-GM, 1980
Gulö, W., Benih Yang Tumbuh XIII, Semarang: Satya Wacana, 1983
Wellem, F. D., Kamus Sejarah Gereja , BPK-GM, 2004
.
2.      Sumber Wawancara Kelompok
Hasil Wawancara dengan Pdt. Siti Suarni Gee, Hubungan Agama Kristen dan Islam di Nias, Dilaksanakan Jumat, 20 April 2018, melalui via Seluler. 
Hasil wawancara dengan Bapak Iwan Laksaro Nduru dari Gereja Karismatik, Mengenai Hubungan Kristen dan Islam di Nias, Dilaksanakan Sabtu, 21 April 2018
Hasil wawancara dengan Bapak Terifosa Nduru dari Gereja ONKP Mahasiswa STT Abdi Sabda Medan, Mengenai Hubungan agama Kristen dan Islam di Nias dalam bidang social, budaya, dan politik, Dilaksanakan Senin 23 April 2018, Via Seluler.
Hasil wawancara dengan Bapak Prof. Dr. Katimin, M.Ag dosen Universitas Muhammadiyah, Mengenai Hubungan agama Kristen dan Islam di Nias, Dilaksanakan Senin 7 Mei 2018 , Via seluler.

3.      Sumber Lain
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2007/12/21/index.html diakses pada tanggal 01 Mei 2018


[1] Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib Dan Adu, Studi sejarah dan Sosial-budaya Perjumpaan Kekristenan dan kebudayaan Asli Di Nias dan Pulau-Pulau Batu, Indonesia (1865- 1965), (Jakarta, BPK Gunung Mulia: 2015), 13
[2] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 57
 [3] Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib Dan Adu…, 13
[4] Nurcholis,  Sejarah Nasional dan Sejarah Umum (Bandung: Angkasa, 1994), 45
[5] Koenjaraningrat,  Pengantar Ilmu Antropologi,   (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 275
[6] S. Harita, Gerakan, Hal 33
[7] Nama Lowalangi (lowalani) sebelum Kekristenan masuk di Nias, sering dipergunsksn sebagai nama seseoran, ata gelar/nama kebesaran yang diberikan seseorang menurut hokum adat, mislanya Lowalangi Tola Gi’a (Nias Utara), Tuha Lowalani (Nias Selatan). Hal ini membuktikan bahwa nama Lowalangi lebih kuasa dianggab sebagai sumber berkat, kebaikan, sekaligus sebagai symbol keagungan.   
[8] Th. Van den End, Ragi Carita I, (Jakarta: BPK-GM, 1980), 66
[9]  Th. Van den End, Ragi Carita I, 102
[10] Jans Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 74
[11] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan  Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2006, hlm. 74
[12]http://www.niasisland.com/home/writing_disp.php?writing_no_option=001369&category_code_option=AR diakses pada tanggal 01 Mei 2018
[13] W. Gulö, Benih Yang Tumbuh XIII,( Semarang: Satya Wacana, 1983),  6
[14] W. Gulö, Benih Yang Tumbuh XIII, 598
[15] Th. Van den End, Ragi Carita II, (Jakarta: BPK-GM, 1980),  216
[16] RMG merupakan singkatan dari Rheinisce Missionsgesellschft, didirikan di Barmen pada tahun 1828 sebagai dari penggabungan beberapa PI di daerah sungai Rhein dan bersifat interdominasi. Tujuannya adalah memberitakan dan mendirikan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia orang kafir, bukan untuk membawa pertikaian gereja yang terjadi di Eropa. RMG berjasa bagi penanaman Injil dan tumbuhnya Gereja Kristen Evanggelis (GKE)., HKBP, BNKP, GKPM (Mentawai), dan lain-lain. Juga bekerja di Afrika dan Tiongkok. F. D Wellem, Kamus Sejarah Gereja , BPK-GM, 2004, hlm. 402
[17] Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM), 235-236 
[18] Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM), 235-236 
[19] W. Gulö, Benih Yang Tumbuh XIII, 7-8
[20] W. Gulö(ed.), Benih Yang Tumbuh XIII, 11-12
[21] W. Gulö(ed.), Benih Yang Tumbuh XIII, 8-10
[22] W. Gulö(ed.), Benih Yang Tumbuh XIII, 8-10
[24] Van den End, J. Weitjens, Ragi Carita Jilid 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860 – Sekarang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet. 7, 2008), 211-217.
[25] Phil J. Garang, Nias : Membagun Harapan Menapak Masa Depan, (Jakarata: Yayasan Tanggul Bencana Indonesia, 2007), 47
[26] John Titaley, Pluralisme dan Kerukunan Hidup Beragama: (Jakarta: Suara Merdeka, 2005)
[27] Hasil Wawancara dengan Pdt. Siti Suarni Gee dari Gereja BNKP, Hubungan Agama Kristen dan Islam di Nias, Dilaksanakan Jumat, 20 April 2018, melalui via Seluler. 
[28] Hasil wawancara dengan Bapak Iwan Laksaro Nduru dari Gereja Karismatik, Mengenai Hubungan Kristen dan Islam di Nias, Dilaksanakan Sabtu, 21 April 2018.
[29] Hasil wawancara dengan Bapak Terifosa Nduru dari Gereja ONKP Mahasiswa STT Abdi Sabda Medan, Mengenai Hubungan agama Kristen dan Islam di Nias dalam bidang social, budaya, dan politik, Dilaksanakan Senin 23 April 2018, Via Seluler.
[30] Hasil wawancara dengan Bapak Prof. Dr. Katimin, M.Ag dosen Universitas Muhammadiyah, Mengenai Hubungan agama Kristen dan Islam di Nias, Dilaksanakan Senin 7 Mei 2018 , Via seluler.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar